banner 728x250
Berita  

Mandatory Spending Absen di RUU Kesehatan, Dana Kesehatan Dipangkas?

Ket : Ilustrasi aktivitas di rumah sakit (Foto:TungNguyen/Pixabay)

Mediaperawat.id – RUU Kesehatan masih menjadi topik hangat di kalangan tenaga kesehatan. Salah satu topik yang paling diminati adalah tentang mandatory spending yang dihapuskan pada RUU Kesehatan. Apakah hal tersebut baik untuk perbaikan dunia kesehatan di Indonesia?

Pada tayangan podcast Kementerian Kesehatan edisi 26  yang tayang Rabu (5/7) sore, dr. Yuli Farianti, M.Epid selaku Kepala Pusat Kebijakan Pembiayaan dan Desentralisasi Kesehatan mengatakan bahwa sejak mandatory spending dilaksanakan tahun 2009 berdasarkan Undang-Undang 36, pihaknya terus melakukan evaluasi.

dr. Yuli Farianti, M.Epid, Kepala Pusat Kebijakan Pembiayaan dan Desentralisasi Kesehatan (Sumber: Tangkapan layar podcast Kementerian Kesehatan)

“Karena kita lihat kenapa uang itu telah didistribusikan cukup sesuai dengan mandat dan kewajiban pemerintah sebesar 5-10%, tetapi kenapa outcome-nya stuck berada di posisi yang tidak maju,” ungkap Yuli.

Tidak adanya kemajuan berarti itu, lanjut Yuli, disebabkan karena beberapa hal. Terutama karena anggaran yang sudah cair tidak sesuai dengan kapabilitas SDM serta penyesuaian perencanaan penganggaran.

“Artinya, piramidanya di atas di kasih uang banyak hasilnya sedikit,” lanjut Yuli.

Sebagai contoh, ada istilan tagging belanja kesehatan yang mengelompokkan pemanfaatan anggaran 10% yang diberikan. Di dalam pengelompokkan itu bisa dialokasikan pengeluaran yang tepat untuk meningkatkan layanan kesehatan.

Tetapi, dikatakan Yuli, tidak demikian yang terjadi di lapangan.

“Di puskesmas bahkan ada anggaran digunakan untuk membuat pagar. Lalu ada pemanfaatan dana yang karena tidak menggunakan perencanaan yang baik, akhirnya larinya beli baju seragam, infrastruktur masuk gorong-gorong,” ujar Yuli.

Baca Lagi : Tenaga Kesehatan (Nakes) Pahami 13 Penjelasan Substansi RUU Kesehatan

Dengan demikian, mandatory spending dianggap belum efektif dalam hal memajukan kesehatan Indonesia.

“Jadi, perlu ada satu inovasi dan terobosan dalam rangka kita lakukan sesuai dengan performance based-nya yaitu penganggaran berbasis kinerja,” tegas Yuli.

Secara sederhana, skema penganggaran tersebut akan dimulai dengan perencanaan terlebih dahulu yang setiap tahun dibahas bersama dengan DPR.

Penganggaran tersebut juga nantinya akan berbasis input, output, dan outcome berdasarkan Rencana Induk Kesehatan yang menjadi acuan.

Yuli mengatakan bahwa pada tahun 2023 ini, belanja pusat sudah berada di atas 5% tepatnya 9,2%. Jika anggaran belanja tersebut dilanjutkan dengan Rencana Induk Kesehatan, maka hasil yang diharapkan akan menjadi maksimal.

“Jangan kuatir, daerah jangan kuatir tanpa mandatory spending pun kita justru akan mengalokasikan secara benar sesuai dengan input, output, dan outcome yang kita harapkan,” kata Yuli.

Jadi, dihapusnya mandatory spending tidak akan mengurangi pembiayaan kesehatan di Indonesia. Akan tetapi, polanya akan diubah dan disesuaikan dengan program Kementerian Kesehatan yang dibutuhkan. Dengan harapan, anggaran yang sudah dikeluarkan dapat digunakan untuk hal-hal yang sesuai peruntukannya.

“Sekarang kita pakemkan Rencana Induk Kesehatan (RIK)  sebagai acuan dalam menuju transformasi kesehatan yang akan kita lakukan mulai dari transformasi primer sampai dengan digital, yang nanti akan dibahas oleh DPR,” kata Yuli.

Rencana Induk Kesehatan tersebut nantinya akan menjadi acuan untuk menghitung anggaran sesuai dengan kebutuhan dan berbasis kinerja. Sehingga tidak ada disparitas antara daerah tertentu.

Tentunya sistem berbasis anggaran pada RUU Kesehatan ini memiliki kelebihan dan kekurangan. Apalagi inovasi ini dibuat berdasarkan evaluasi mandatory spending yang tidak efektif.

“Plusnya berdasarkan kinerja, dihitung sesuai kebutuhan. Jadi dengan kinerja kita dapat dengan tepat mengalokasikan anggaran tersebut,” ucap Yuli.

Sedangkan untuk kekurangannya, Yuli mengatakan bahwa tidak ada kekurangan dalam inovasi yang disiapkan untuk anggaran kesehatan di masa depan.

“Kerugiannya perlu dimitigasi karena ini adalah sebuah konsep baru, penyusunan ini akan kita sosialisasikan dengan baik, apa itu rencana induk kesehatan dan detailnya, targetnya, dan apa yang akan kita hitung dalam anggarannya,” Kata Yuli.

Jika RUU Kesehatan disahkan, maka tidak menutup kemungkinan akan muncul program-program unggulan untuk kesehatan di Indonesia. Sehingga tidak menutup kemungkinan juga anggaran tersebut bisa lebih dari 10%.

“Kalau memang kebutuhan kita sesuai dengan perhitungan kita, apa yang akan kita lakukan dalam transformasi tersebut bahkan bisa melebihi 15%,” ungkap Yuli.

Sebagai kesimpulan, tidak adanya angka mandatory spending di dalam RUU Kesehatan maka bukan berarti anggaran kesehatan itu dihapuskan. Anggaran justru akan tersusun dengan rapi berdasarkan Rencana Induk Kesehatan.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *