Banyak sekali kontroversi dan konspirasi tentang vaksin COVID-19 yang menyebar di masyarakat. Mulai dari vaksin yang dapat mengubah DNA hingga vaksin yang mengandung microchip. Hal ini membuat masyarakat takut dan enggan untuk divaksinasi, apalagi seperti yang kita mengetahui vaksin memiliki efek samping seperti demam, kelelahan, sakit kepala, nyeri otot, diare, dan sakit pada bagian yang disuntik. Belakangan ini kabar tentang beberapa merk vaksin yang menyebabkan pembekuan darah menyebar luas di social media. Merk-merk tersebut yaitu AstraZeneca dan Johnson&Johnson. Vaksin dari AstraZeneca yang telah di gunakan di Indonesia tentu membuat masyarakat semakin cemas akan keamanannya.
Berdasarkan dari data oleh AstraZeneca, lebih dari 17 juta orang yang telah divaksin dengan AstraZeneca di Eropa dan Inggris dan sejauh ini ada 15 kasus deep vein thrombosis (DVT) dan 22 kasus emboli pulmonal yang dilaporkan pada 8 Maret.
“This is much lower than would be expected to occur naturally in a general population of this size and is similar across other licensed COVID-19 vaccines.” Ujar perusahaannya.
Untuk perbandingan, pembekuan darah jenis ini mempengaruhi kira-kira 1:1000 orang dewasa setiap tahun, berarti jika di dalam 17 juta populasi, diduga akan ada 17.000 kasus pembekuan setiap tahun.
Pada akhir Maret, National Advisory Committee Immunization (NACI) Kanada merekomendasikan penjedaan penggunaan vaksin AstraZeneca pada masyarakat dibawah umur 55 tahun ketika mereka sedang meneliti resiko-resikonya.
Menurut Kompas.com, kejadian pembekuan darah akibat vaksin AstraZeneca di Indonesia belum ditemukan. Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) terus mencermati kasus pembekuan darah ini dan telah memberi warning dan juga di dalam statement factsheet, factsheet yang mana adalah informasi pada tenaga kesehatan yang akan menggunakan AstraZeneca tentang resiko pembekuan darah. Jadi, penyuntikan vaksin AstraZeneca akan tetap dilanjutkan di indonesia.
Satu lagi merk vaksin yang mempunyai efek samping pembekuan darah khususnya Cerebral Venous Sinus Thrombosis (CVST) dengan thrombocytopenia yaitu Johnson&Johnson. Pada 13 April, Center for Disease Control and Prevention (CDC) dan Food and Drug Administration (FDA) merekomendasikan adanya jeda pada penggunaan vaksin COVID-19 dari Johnson&Johnson. Advisory Committee on Immunization Practices (ACIP) akan melakukan rapat darurat kedua untuk mendiskusikan vaksin COVID-19 Johnson&Johnson pada 23 April 2021.
Emergent BioSolution, partner Johnson&Johnson yang memproduksi vaksinnya telah menghentikan produksi atas permintaan FDA setelah dilakukan inspeksi, ujar Emergent pada 19 April.
Pada 15 April 2021, CDC telah menjelaskan bukti terkini pada CVST dengan thrombocytopenia yang berhubungan dengan penggunaan vaksin COVID-19 Johnson&Johnson melalui Webinar. Pembicara Sara Oliver dan Tom Shimabukuro mendiskusikan tentang apa yang disebut dengan CVST serta bukti CVST dan Thrombocytopenia terkait vaksin COVID-19 Johnson&Johnson.
Berikut ringkasan isi dari Webinar :
- Thrombocytopenia dan Cerebral Venous Sinus Thrombosis (CVST)
Trombosit atau yang biasa di sebut keeping darah adalah sel darah tidak berwarna yang membantu pembekuan darah. Jumlah trombosit normal pada darah adalah 150.000-450.000/µL. Trombosit menhentikan pendarahan dengan cara membekukan dan membentuk gumpalan pada pembuluh darah yang terluka.
Thrombocytopenia adalah kondisi dimana jumlah trombosit lebih rendah dari rentang normal, yaitu kurang dari 150.000/µL. Pendarahan internal dapat terjadi jika jumlah trombosit dalam darah kurang dari 10.000/µL. Walaupun langka, thrombocytopenia yang parah dapat menyebabkan pendarahan di otak yang bisa menjadi fatal, dan ini lah yang disebut Cerebral Venous Sinus Thrombosis (CVST). Jadi CVST terjadi karena ada gumpalan darah di pembuluh darah vena besar di otak dengan jumlah trombosit rendah.
Kodisi ini dikaitkan dengan vaksin COVID-19 AstraZeneca oleh European Medicines Agency (EMA). Dan dalam kasus vaksin COVID-19 Johnson&Johnson yang telah digunakan untuk memvaksinasi 6,86 juta orang di Amerika dimulai pada tangal 2 Maret 2021 terdapat 6 kasus CVST dengan thrombocytopenia yang telah dilaporkan atau 0,87 kasus per satu juta vaksinasi. Keenam orang dinyatakan negative dari COVID-19
- Pentingnya deteksi dini CVST dan Thrombocytopenia
Faktor Resiko
Faktor resiko dari CVST yaitu kondisi protrombotik (genetic atau bawaan), kontasepsi oral, kehamilan dan menstruasi post-partum, tumor ganas, infeksi, dan sebab mekanis (misalnya : lumbar pungsi). Selain itu tanda dan gejala yang dapat terjadi jika menderita CVST adalah sakit kepala dengan atau tanpa muntah, pembengkakan mata (papilledema), gangguan penglihatan, kejang, ensefalopati, pendarahan subarachnoid, dan kelumpuhan syaraf kranial.
Karakteristik umum 6 pasien dengan CVST dan thrombocytopenia yang telah divaksin dengan Johnson&Johnson adalah :
- Usia rata-rata 33 tahun (rentang 18-48)
- Rata-rata gejala tampak dalam 8 hari (rentang 6-13 hari)
- Semua kasus terjadi pada wanita kaukasia
- Penggunakan estrogen/progesterone atau kontrasepsi (1 orang)
- Keadaan terdiagnosa : Obesitas (3 orang), Hipotiroidisme (1 orang), Hipertensi (1 orang) dan Asma (1 orang)
Baca juga : Tidak Enak Badan? Bisa Jadi Itu Gangguan Psikologis. Mengenal Lebih Dekat Psikosomatis
- Tanda Dan Gejala Awal dan Akhir pada pasien CVST
Jumlah | Gejala Awal | Gejala Akhir |
Pasien 1 | Sakit kepala, kelelahan (letargi) | Sakit kepala berat, kelemahan pada tubuh bagian kiri, muntah |
Pasien 2 | Saki kepala | Sakit kepala berat, gangguan komunikasi (aphasia)Pa |
Pasien 3 | Sakit kepala, muntah, demam | Kelemahan pada tangan kiri, deviasi pandangan kanan, mati rasa tubuh bagian kiri |
Pasien 4 | Sakit kepala, menggigil, nyeri otot (myalgia) | Nyeri berat pada abdomen dan demam |
Pasien 5 | Sakit kepala, menggigil, sesak napas (dispnea), demam | Memar, pembengkakan kaki unilateral, kehilangan kesadaran |
Pasien 6 | Nyeri punggung, memar | Sakit kepala, nyeri abdomen |
“Clinicians should maintain a high index of suspicion and do not treat patients with thrombotic events and thrombocytopenia following receipt of Janssen COVID-19 vaccine with heparin unless HIT testing is negative.” Ujar Tom Shimabukuro.
Dari hasil tes hematologi 6 pasien tersebut, semua menderita thrombocytopenia, dan kebanyakan menderita thrombocytopenia berat dengan jumlah trombosit kurang dari 50.000/µL. 5 dari 6 pasien telah di tes PF4 HIT antibody (Platelet Factor Four Heparin Induced Thrombocytopenia) dan kelimanya positif.
“If HIT testing is positive or unable to be performed in patient with thrombotic events and thrombocytopenia following receipt of Jansen COVID-19 vaccine, non-heparin anticoagulants and high-dose intravenous immune globulin should be strongly considered.” Ujar Tom Shimabukuro.
- Penanganan dan Hasil
- Penanganan :
- Heparin (pada 4 pasien)
- Nonheparin antikoagulan (pada 5 pasien)
- Trombosit (pada 3 pasien
- Imunoglobulin Intravena (pada 3 pasien)
- Hasil
Hasilnya adalah 2 pasien dipulangkan, 3 pasien masih dirawat (2 di ICU), dan 1 pasien meninggal.
Berdasarkan data dari perusahaannya, AstraZeneca menunjukkan efikasi vaksin 63.09% melawan infeksi SARS-CoV-2. Menurut WHO vaksin COVID-19 penggunaan skala besar dengan tingkat efikasi 50% dapat membantu mengontrol pandemi.
Pada 29 Januari 2021, Johnson&Johnson mengatakan satu dosis vaksin mempunyai efikasi 72% dalam mencegah COVID-19 di Amerika. Namun dalam percobaan pada hampir 44.000 relawan, level proteksi melawan infeksi COVID-19 berat dan sedang adalah 66% di Amerika Latin dan hanya 57% di Afrika Utara, dimana tedapat varian novel coronavirus yang mencemaskan.
Sepadankah manfaat vaksin AstraZeneca dan Johnson&Johnson dibandingkan dengan resiko efek samping yang langka terjadi?
Bagi yang telah divaksinasi, jika mengalami efek samping seperti sakit kepala atau gejala lainnya harap segera berkonsultasi dengan dokter atau petugas kesehatan lainnya untuk deteksi dini.
(DOK/VA)
Referensi
https://www.cdc.gov/coronavirus/2019-ncov/vaccines/different-vaccines/janssen.html
https://emergency.cdc.gov/coca/calls/2021/callinfo_041521.asp