banner 728x250

Burnout di Kalangan Perawat ICU: Antara Tanggung Jawab dan Kesehatan Mental

Burnout di Kalangan Perawat ICU

“Setiap kali masuk ruang ICU, saya selalu menyiapkan mental. Bukan hanya karena harus menghadapi pasien kritis, tapi karena saya tak pernah tahu tekanan seperti apa yang akan datang hari itu.”

Pernyataan ini bukan kutipan dari film drama medis, melainkan suara hati seorang perawat yang pernah bertugas di ruang perawatan intensif (ICU). Di balik profesionalisme, senyum di balik masker, dan tangan yang sigap menyelamatkan nyawa, ada kelelahan fisik dan mental yang tak jarang tak terlihat. 

Artikel ini bertujuan untuk mengulas secara komprehensif mengenai penyebab, dampak, serta strategi pencegahan burnout di kalangan perawat ICU, khususnya di konteks pelayanan kesehatan Indonesia.

Burnout di Kalangan Perawat ICU

Burnout atau kelelahan kerja kronis bukan sekadar istilah psikologi semata, melainkan realita yang kerap dialami oleh perawat, terutama mereka yang bekerja di ruang-ruang dengan tekanan tinggi seperti ICU.

Ruang ICU menuntut ketepatan, kecepatan, dan ketahanan. Satu kesalahan kecil bisa berdampak besar. Di tengah kondisi itu, perawat ICU tak hanya berjibaku dengan alat medis dan protokol ketat, tapi juga dengan rasa cemas, beban emosional, dan tekanan psikologis yang terus-menerus menumpuk. Lalu, bagaimana sebenarnya burnout terbentuk? Dan apa dampaknya bagi perawat maupun pasien?

Burnout merupakan kondisi kelelahan emosional, depersonalisasi, dan penurunan pencapaian personal yang kerap dialami oleh tenaga kesehatan, khususnya perawat. World Health Organization (WHO) telah mengakui burnout sebagai fenomena yang berkaitan dengan pekerjaan dan menekankan urgensinya dalam konteks kesehatan kerja. 

Perawat yang bekerja di Intensive Care Unit (ICU) menjadi salah satu kelompok dengan risiko tertinggi mengalami burnout akibat beban kerja tinggi, tekanan emosional yang intens, serta kebutuhan untuk membuat keputusan klinis dalam waktu singkat.

Baca Juga: Prioritas Kesehatan di Era Sustainable Development Goals (SDGs): Menghadapi Surplus Perawat di Indonesia

Berbagai studi menunjukkan bahwa prevalensi burnout di kalangan perawat ICU tergolong tinggi dan berpotensi memengaruhi kualitas pelayanan keperawatan, keselamatan pasien, serta kesejahteraan psikologis perawat itu sendiri. 

Faktor-faktor seperti jam kerja panjang, kurangnya dukungan sosial, keterbatasan sumber daya, serta paparan terhadap kematian pasien secara berulang dapat memperparah tingkat stres dan mempercepat terjadinya burnout. Oleh karena itu, isu ini perlu menjadi perhatian serius dalam manajemen rumah sakit maupun kebijakan kesehatan nasional.

Dampak Burnout pada Perawat dan Pasien

ICU adalah tempat perawatan pasien kritis, tempat dimana hidup dan mati pasien dapat berubah dalam hitungan menit. Belum lagi alarm syring pump dan monitor yang tidak pernah berhenti berbunyi, tanggung jawab yang berat, dan tekanan dari keluarga pasien yang berharap “kehidupan dan keajaiban” datang setiap waktu. Di balik seragam scrub dan wajah tenang, banyak perawat ICU yang sebenarnya menyimpan kelelahan mendalam baik fisik, mental, maupun emosional.

Setiap hari, mereka harus sigap mengambil keputusan yang cepat dan tepat, menangani pasien kritis, sambil tetap menjaga komunikasi professional dengan dokter dan keluarga pasien. Jika ada satu kesalahan, taruhannya adalah nyawa. Tekanan yang seperti ini jika tidak diimbangi dengan manajemen stres yang baik, cukup dapat merusak fisik dan mental perawat. Belum lagi kalau sumber daya perawat yang kurang dan pada akhirnya harus lembur, dinas malam berturut-turut, atau tidak sempat makan dan istirahat dengan cukup. Dan kelelahan ini lama-lama akan berubah menjadi burnout.

Baca Juga: Nursing Now Challenge Inisiasi Bangkitnya Peran Perawat Asia Tenggara: Saatnya Terlibat, Berdaya, dan Bertindak Nyata

Data dari penelitian yang dipublikasikan di Intensive and Critical Care Nursing Journal (2021) menyebutkan bahwa sekitar 68% perawat ICU mengalami burnout tingkat sedang hingga berat. Penelitian ini dilakukan di Belgia selama gelombang pertama pandemi COVID-19 dan menemukan bahwa prevalensi risiko burnout di kalangan perawat ICU meningkat secara signifikan dari 51,2% menjadi 66,7%. Faktor-faktor seperti peningkatan beban kerja dan kekurangan alat pelindung diri berkontribusi terhadap peningkatan risiko burnout, dan kurangnya dukungan sosial dari rekan kerja dan manajemen terkait dengan penurunan risiko tersebut (Bruyneel, Smith, Tack, & Pirson, 2021).

Selain itu, penelitian yang dilakukan di RSUD Dr. Moewardi pun menunjukkan bahwa terdapat sekitar 48% perawat ICU mengalami burnout yang berkaitan erat dengan beban kerja yang tinggi. Angka ini menunjukkan bahwa hamper setengah dari perawat ICU di rumah sakit tersebut menghadapi kelelahan emosional dan mental yang serius (Ramadhan, Sulisetyawati, Suryandari, & , 2020).

Burnout bukan sekadar lelah yang bisa hilang dengan sendirinya. Banyak perawat ICU yang mulai merasa dirinya seperti robot kerja, pulang, tidur, ulang lagi. Mereka mulai kehilangan empati, jadi lebih sensitif, mudah marah, bahkan bisa juga ‘numb’ atau mati rasa. 

Padahal, perawat adalah garda terdepan yang bukan hanya perlu sigap, tapi juga hadir secara emosional untuk pasien. Jika perawat merasakan burnout, efek dominonya akan bahaya. Dampak yang bisa terjadi pada pasien adalah tidak mendapatkan perhatian maksimal selama perawatan, komunikasi menjadi terganggu, dan risiko kesalahan medis pun bisa meningkat. 

Perawat akan sulit fokus jika pikirannya sudah terlalu lelah, dan dampak terparahnya lagi bisa terjadi ke perusahaan atau instansi tempat bekerja, tingkat turnover pegawai akan tinggi atau perawat akan banyak yang memilih resign dari pekerjaan ketika merasa burnout dan memilih pindah ke tempat kerja yang lebih “tenang”.

Pada akhirnya, rumah sakit pun kekurangan tenaga, dan beban kerja perawat yang tersisa semakin berat. 

Upaya Pencegahan dan Penanganan Burnout pada Perawat

Setelah mengalami burnout, apakah kelelahan emosional itu dapat dicegah dan ditangani? Jawabannya: Ya, bisa. Perlu diingat juga, tugas ini bukan hanya tanggung jawab perawat sendiri, namun juga manajemen rumah sakit, pemerintah dan rekan sejawat. Apa yang harus dilakukan untuk menangani burnout?

1. Level individu: self-care, coping mechanism, mencari dukungan.

Pertama-tama, penting untuk perawat memiliki rasa mindful dengan kondisi dirinya sendiri. Terkadang perawat terlalu fokus mengurus pasien, sampai lupa memeriksa kondisi dirinya sendiri. 

Coba mulai dari hal kecil untuk menumbuhkan mindful ini dengan cara journaling, bercerita dengan teman yang dapat dipercaya, atau sekadar mengambil napas dalam-dalam pada saat jam istirahat. 

Hal ini akan lebih baik dilakukan, daripada menyimpan semuanya sendirian. Perlu diingat: support system itu emas. Rekan kerja yang bisa diajak bercerita, keluarga yang mengerti kalau kita butuh waktu untuk “bernapas” dan komunitas perawat yang saling mendukung. Karena, terkadang hanya dengan mendengar, “Aku juga ngerasain hal yang sama”, kita sudah merasa tidak sendirian lagi.

2. Level institusi: jadwal kerja adil, ruang konsultasi psikolog, pelatihan manajemen stres.

Dari sisi manajemen, rumah sakit juga perlu buka mata. Penjadwalan yang manusiawi, pelatihan tentang kesehatan mental, dan ruang istirahat yang layak itu bukan “fasilitas tambahan” tapi kebutuhan. 

Beberapa rumah sakit sudah mulai menerapkan program peer support dan debriefing rutin setelah menangani kasus berat. Hal kecil seperti ini dapat membantu para perawat memulihkan gejolak emosionalnya dan menjadi pelampiasan sehat daripada menumpukkan beban di kepala sendiri. 

Baca Juga: Berkarir Secara Internasional: Keuntungan Menjadi Perawat Luar Negeri, Tantangan dan Cara Mengatasinya

Selain dari instansi rumah sakit, penting juga adanya kebijakan pemerintah yang berpihak kepada tenaga kesehatan. Misal, regulasi batas maksimal jam kerja per minggu, tunjangan khusus untuk perawat ICU, dan akses terhadap layanan psikologi atau konseling. Karena tidak bisa dipungkiri, kerja di ruang ICU itu tekanan emosionalnya lebih tinggi daripada unit lain.

Kondisi Mental dan Fisik Perawat Harus Menjadi Prioritas

Burnout bukan hal yang bisa disapu di bawah karpet. Kita perlu berhenti menganggap lelah sebagai bagian “biasa” dari menjadi seorang perawat ICU. Justru karena perawat itu bekerja di garis terdepan, tanggung jawabnya besar, kondisi mental dan fisik pun harus menjadi prioritas. 

Kalau bukan kita yang menjaga diri sendiri, lalu siapa lagi? Menjadi perawat itu mulia tapi bukan berarti harus mengorbankan diri sampai titik darah penghabisan. Yuk, kita saling menjaga! Karena tenaga kesehatan yang sehat adalah kunci untuk sistem kesehatan yang kuat.

Burnout bukan kelemahan, tapi sinyal penting untuk bertindak. Karena perawat juga manusia, yang butuh istirahat, didengar, dan dipahami.

REFERENCES

Bruyneel, A., Smith, P., Tack, J., & Pirson, M. (2021). Prevalence of burnout risk and factors associated with burnout risk among ICU nurses during the COVID-19 outbreak in French speaking Belgium.

Intensive and Critical Care Nursing, 1-7.Ramadhan, S. R., Sulisetyawati, S. D., Suryandari, D., & . (2020). Relationship Between Nurse Workload with Burnout Events at Intensive Care Unit Moewardi Hospital. Surakarta: eprints.ukh.ac.id.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *