Mediaperawat.id – Perawat merupakan garda terdepan dalam sistem pelayanan kesehatan. Dalam praktik sehari-hari, mereka dihadapkan pada beban kerja tinggi, tekanan emosional, tanggung jawab besar terhadap keselamatan pasien, serta tuntutan profesionalisme yang tinggi. Namun, di balik seragam putih dan senyum ramah yang mereka tampilkan, terdapat dinamika psikologis yang kompleks dan seringkali luput dari perhatian.
Salah satu isu penting yang perlu mendapat sorotan adalah kesejahteraan psikologis perawat dan bagaimana hal itu berdampak terhadap produktivitas kerja mereka. Kesejahteraan psikologis tidak semata-mata berarti ketiadaan gangguan mental.
Lebih dari itu, kesejahteraan psikologis mencakup dimensi emosional, sosial, dan spiritual dari individu. Menurut Carol Ryff, kesejahteraan psikologis meliputi enam aspek: penerimaan diri, hubungan positif dengan orang lain, otonomi, penguasaan lingkungan, tujuan hidup, dan pertumbuhan pribadi.
Dalam konteks profesi keperawatan, kesejahteraan psikologis menjadi landasan penting untuk menunjang kinerja, karena profesi ini menuntut empati, kestabilan emosi, dan pengambilan keputusan cepat dalam situasi yang penuh tekanan.
Ketika kesejahteraan psikologis terganggu, produktivitas kerja perawat pun akan menurun. Beban mental yang tidak tertangani bisa memunculkan kelelahan emosional (emotional exhaustion), depersonalisasi terhadap pasien, dan penurunan pencapaian personal yang merupana komponen-komponen utama dari burnout.
Baca Juga: Membedah Peran Strategis Perawat Menuju Indonesia Sehat 2045
Burnout tidak hanya menyebabkan perawat kehilangan motivasi kerja, tetapi juga meningkatkan risiko kesalahan medis, memperburuk komunikasi antar tim, dan mempercepat keinginan untuk meninggalkan profesi. Akumulasi dari kondisi-kondisi ini secara langsung menurunkan produktivitas kerja secara individual maupun kolektif dalam unit layanan kesehatan.
Faktor-faktor penyebab terganggunya kesejahteraan psikologis perawat bisa bersumber dari lingkungan kerja maupun kondisi internal individu.
Dari sisi lingkungan kerja, tekanan datang dari ketidakseimbangan antara beban kerja dan sumber daya yang tersedia, jam kerja yang panjang, konflik antar rekan kerja, hingga kurangnya dukungan dari atasan. Dalam sistem rumah sakit yang padat dan seringkali kekurangan tenaga, perawat dituntut untuk bekerja melebihi kapasitas normal, termasuk melakukan shift malam yang berkelanjutan tanpa cukup waktu istirahat.
Situasi ini menurunkan kualitas tidur, memperburuk kesehatan fisik, dan akhirnya memperparah tekanan psikologis. Dari sisi individu, ketidakmampuan dalam mengelola stres, kurangnya keterampilan coping, serta rendahnya self-efficacy menjadi faktor internal yang memperburuk keadaan. Perawat yang memiliki self-esteem rendah cenderung merasa tidak mampu menghadapi tantangan kerja yang kompleks.
Selain itu, kondisi sosial-ekonomi dan masalah domestik juga berkontribusi pada munculnya gangguan kesejahteraan psikologis. Seorang perawat yang harus mengurus anak, keluarga, serta menghadapi masalah keuangan mungkin tidak memiliki energi psikologis yang cukup untuk bekerja secara optimal.
Dampak dari menurunnya kesejahteraan psikologis perawat terhadap produktivitas kerja dapat dilihat dalam beberapa aspek. Pertama, dalam hal absensi dan kehadiran. Perawat yang mengalami kelelahan mental cenderung lebih sering mengambil cuti sakit, datang terlambat, atau bahkan bolos kerja.
Kedua, dalam kualitas pelayanan. Kondisi psikologis yang labil menyebabkan penurunan fokus dan perhatian, sehingga meningkatkan kemungkinan kesalahan dalam pemberian obat, prosedur keperawatan, dan dokumentasi medis.
Ketiga, dalam relasi interpersonal. Perawat yang mengalami stres cenderung menarik diri dari rekan kerja dan pasien, menciptakan suasana kerja yang tidak kondusif dan mengganggu kohesi tim.
Lebih jauh lagi, penurunan produktivitas akibat terganggunya kesejahteraan psikologis perawat menimbulkan kerugian sistemik. Rumah sakit sebagai institusi layanan kesehatan akan mengalami peningkatan biaya karena tingginya tingkat turnover dan pelatihan staf baru. Selain itu, kepuasan pasien menurun akibat pelayanan yang tidak optimal, yang pada akhirnya memengaruhi reputasi institusi.
Baca Juga: Menjadi Perawat yang Tumbuh: Temukan dan Jalani Passionmu
Dengan kata lain, isu ini tidak hanya menyangkut nasib individu perawat, tetapi juga berkaitan dengan efisiensi sistem pelayanan kesehatan secara keseluruhan. Oleh karena itu, penting bagi manajemen rumah sakit dan pembuat kebijakan untuk menciptakan lingkungan kerja yang mendukung kesejahteraan psikologis perawat. Ini bisa dimulai dari kebijakan pembagian shift yang adil, penyediaan ruang istirahat yang memadai, hingga pengadaan program konseling dan dukungan psikologis di tempat kerja.
Pelatihan keterampilan manajemen stres dan pengembangan kecerdasan emosional juga dapat menjadi bagian dari program peningkatan kapasitas tenaga keperawatan. Dengan menciptakan ruang yang aman secara emosional dan psikologis, perawat akan merasa dihargai, termotivasi, dan lebih produktif dalam bekerja.
Selain itu, penting juga untuk mendorong perubahan budaya kerja. Masih banyak institusi kesehatan yang mengabaikan pentingnya istirahat, mempromosikan budaya kerja lembur sebagai bukti dedikasi, atau menganggap ekspresi kelelahan sebagai kelemahan profesional. Stigma terhadap gangguan kesehatan mental harus dihapuskan agar perawat merasa aman untuk mencari bantuan ketika menghadapi tekanan psikologis.
Institusi perlu membangun sistem pendukung yang memungkinkan diskusi terbuka, pendekatan kolegial, serta penguatan solidaritas antar rekan kerja. Tak kalah penting, pemberdayaan perawat dalam pengambilan keputusan serta penghargaan terhadap kerja keras mereka juga akan meningkatkan kesejahteraan psikologis. Ketika perawat merasa suara mereka didengar dan dihargai, maka mereka cenderung memiliki kontrol lebih terhadap lingkungan kerjanya.
Ini berkaitan erat dengan aspek otonomi dan penguasaan lingkungan dalam teori kesejahteraan psikologis. Keterlibatan aktif dalam tim, kesempatan untuk belajar, serta jalur karier yang jelas juga meningkatkan rasa memiliki dan motivasi intrinsik. Dalam jangka panjang, investasi dalam kesejahteraan psikologis perawat bukan hanya pilihan moral, tetapi strategi manajerial yang bijak.
Baca Juga: Burnout di Kalangan Perawat ICU: Antara Tanggung Jawab dan Kesehatan Mental
Data dari berbagai penelitian menunjukkan bahwa intervensi untuk meningkatkan kesejahteraan psikologis berdampak langsung pada penurunan angka burnout, peningkatan kepuasan kerja, dan berkurangnya kesalahan medis. Perawat yang sejahtera secara psikologis bekerja dengan penuh perhatian, penuh kasih, dan mampu menjalin hubungan interpersonal yang kuat dengan pasien.
Hal ini tidak hanya meningkatkan produktivitas kerja, tetapi juga mutu pelayanan kesehatan secara umum. Masyarakat juga memiliki peran dalam mengapresiasi dan memahami kompleksitas pekerjaan perawat. Terlalu sering profesi ini hanya dilihat sebagai pelengkap dokter atau pekerja teknis tanpa beban emosional. Padahal, setiap harinya mereka menghadapi kematian, nyawa yang dipertaruhkan, dan penderitaan manusia.
Kesadaran kolektif tentang pentingnya kesejahteraan psikologis perawat dapat dibangun melalui edukasi publik, dukungan komunitas, serta penguatan solidaritas lintas profesi dalam sektor kesehatan. Kesimpulannya, hubungan antara kesejahteraan psikologis perawat dan produktivitas kerja bukanlah sesuatu yang sepele. Ini adalah persoalan yang menyentuh dimensi individual, struktural, dan sistemik dalam dunia pelayanan kesehatan.
Upaya peningkatan produktivitas tidak akan efektif jika hanya berfokus pada aspek teknis tanpa memperhatikan dimensi psikologis pekerja. Untuk itu, dibutuhkan pendekatan holistik yang melihat perawat sebagai manusia utuh, bukan sekadar tenaga kerja. Dalam tubuh yang lelah dan pikiran yang penuh tekanan, seorang perawat tetap harus menunjukkan kasih, empati, dan ketepatan dalam mengambil keputusan. Maka, sudah sewajarnya kita memulai dari dasar: memastikan kesejahteraan psikologis mereka tetap terjaga.
Referensi:
Ryff, C. D. (1989). Happiness is everything, or is it? Explorations on the meaning of psychological well-being. Journal of Personality and Social Psychology, 57(6), 1069–1081.
Maslach, C., & Jackson, S. E. (1981). The measurement of experienced burnout. Journal of Occupational Behavior, 2(2), 99–113.
McVicar, A. (2003). Workplace stress in nursing: A literature review. Journal of Advanced Nursing, 44(6), 633–642.
World Health Organization (WHO). (2022). Mental health and health workforce. Geneva: WHO.
Garcia, C. L., Abreu, L. C., Ramos, J. L. S., Castro, C. F., Smiderle, F. R. N., Santos, J. A. D., & Bezerra, I. M. P. (2019). Influence of burnout on patient safety: Systematic review and meta-analysis. Medicina, 55(9), 553.
Laschinger, H. K. S., Wong, C. A., & Grau, A. L. (2012). Authentic leadership, empowerment and burnout: A comparison in new graduates and experienced nurses. Journal of Nursing Management, 20(3), 522–532.
Dyrbye, L. N., Shanafelt, T. D., & Sinsky, C. A. (2017). Burnout among health care professionals: A call to explore and address this underrecognized threat to safe, high-quality care. NAM Perspectives. National Academy of Medicine.