Masa saat menjadi mahasiswa, ada yang berpikir ini adalah masa mencari jadi diri. Masa untuk mulai lebih mengenali kehidupan. Tak heran jika pada masa ini mereka turut aktif dalam berbagai kegiatan. Mulai kegiatan sosial hingga komersial. Mulai merancang tujuan untuk masa depan hingga eksplorasi percintaan.
Karena itu tak ayal jika pada masa ini para mahasiswa pun mengalami banyak mendapat stressor. Baik dari lingkungan perkuliahan, hingga di luar lingkungan perkuliahan. Bagi kalian yang belum tahu apa itu stressor, simplenya stressor adalah faktor-faktor yang mengakibatkan stress. Jadi bisa diartikan sebagai penyebab stress.
Dalam sebuah Jurnal Keperawatan Jiwa (JKJ): Persatuan Perawat Nasional Indonesia, yang ditulis oleh Puteri Dewi Ambarwati, Sambodo Priadi Pinilih, dan Retna Tri Astuti. Dimana dilakukan penelitian dengan sampel sebanyak 101 Mahasiswa di salah satu Perguruan Tinggi Swasta di Kota Magelang. Didapatkan hasil sebanyak 35,6% mengalami stres ringan, stres sedang sebanyak 57,4 %, dan 6,9% mengalami stres berat.
Baca juga : Tips and Trick Atasi Pressure Mahasiswa Keperawatan Tingkat Akhir
Data di atas menunjukkan betapa mudahnya mahasiswa mengalami stres. Oleh karena itu kita harus punya manajemen stres yang baik. Manajemen stres salah satunya adalah dengan melakukan mekanisme koping. Bagi orang awam mungkin masih asing dengan mekanisme koping dan bertanya-tanya apa itu mekanisme koping.
Dilansir dari tirto.id, mekanisme koping adalah cara seseorang untuk keluar dari stres dan trauma. Mekanisme koping ada 2, yaitu adaptif dan maladaptif. Sampai disini mungkin juga banyak yang bertanya-tanya, apa lagi itu. Simpelnya agar mudah dipahami mekanisme koping maladaptif upaya untuk mengurangi stres dengan cara yang baik, misalnya menyelesaikan masalah, mendengarkan musik relaksasi, bercengkrama dengan teman-teman, hingga mendekatkan diri kepada Tuhan. Sementara mekanisme koping maladaptif sendiri merupakan kebalikannya, seperti isolasi social, self harm, merokok, minum alkohol, dan menggunakan narkoba.
Jika kita melihat mekanisme koping maladaptif, tentu kita akan tahu hal itu akan menimbulkan kerugian dalam diri kita sendiri, baik secara fisik maupun mental. Namun seperti sudah menjadi rahasia umum, bahwa banyak mahasiswa yang melakukan mekanisme koping maladaptif.
Contoh kecil saya, seperti saat kita ada di tongkrongan, semisal coffee shop. Pasti kita banyak menjumpai mahasiswa yang sedang merokok, baik itu untuk melepas stress, atau hanya sekedar menjadi syarat belaka dalam sebuah tongkrongan.
Kita ambil contoh B (20 tahun), seorang Mahasiswa di salah satu Perguruan Tinggi Swasta di Kota Semarang. Dia menjadikan rokok sebagai pelarian ketika sedang mumet. Apakah dia minum alkohol juga? Ya dia minum alkohol juga. Bukannya menjudge, namun itulah yang terjadi. “Kalau minum biasanya kalau putus cinta.” Ungkapnya.
Contoh lain M (21 tahun), seorang Mahasiswa di salah satu Perguruan Tinggi Negeri di Kota Semarang. “Sebenarnya awal saya merokok dan minum karena teman.” Dan sekarang M menjadikannya sebagai pelarian saat sedang stres. “Ya saat stress biasanya saya limpahkan ke rokok tapi untuk minum sendiri jarang karena rokok lebih murah daripada minuman.” Kata M. “Pernah kalau ada uangnya atau kalau kebetulan ada teman yang sama-sama stres.” Jawabnya saat ditanya apakah dia pernah minum saat stress. Namun ada kabar gembira dari M, dia sudah tidak minum akibat dari pandemi ini. Walaupun dia masih merokok namun setidaknya ada secercah kabar bahagia.
Baca juga : Toxic Positivity : Ketika Kalimat Penyemangat Menjadi Sebuah Bumerang Untuk Kesehatan Mental
Kita sudah mengambil contoh mahasiswa, lalu bagaimana dengan mahasiswi? Kita ambil contoh A (22 tahun), seorang Mahasiswi di salah satu Perguruan Tinggi Negeri di Kota Padang. Dia mengaku merokok karena teman. Dan akhirnya dia merokok saat tidak bisa menyelesaikan masalah. Soal minum alkohol, dilatarbelakangi oleh diterimanya dia dan berkesempatan untuk mengambil studi di salah satu Perguruan Tinggi Negeri di Jakarta melalui jalur SNMPTN, namun tidak diizinkan oleh saudaranya. “Nah disana gue udah mulai nggak terima, udah nggak fokus lagi sama sekolah ikatan dinas (dia juga mendaftar di ikatan dinas), SNMPTN gue tolak, sekolah ikatan dinas juga nggak lulus. Disitulah gue mulai minum bareng temen-temen gue waktu SMA.” Dari A.
Selain rokok tembakau sekarang juga sedang tren rokok elektrik atau vape. Contoh yang menggunakan vape adalah L (19 tahun), seorang Mahasiswi Perguruan Tinggi Swasta di Kota Semarang.
“Yak karena di circle pergaulanku yang bikin aku nge-vape, vape bisa bikin tenang walaupun sesaat.” Ungkap L.
“Ya seperti yang aku bilang tadi buat nenangin pas aku banyak pikiran aja.” Tambahnya.
“Ada, karena aku tahu dampaknya dari vape ke tubuh itu nggak baik, ya walaupun nggak berdampak sekarang tapi akan berdampak ke masa yang akan datang.” Ungkapnya saat ditanya apakah ada keinginan untuk berhenti.
Meskipun anggapan di luar sana vape lebih baik daripada rokok, namun hal itu sebenarnya sama saja. Melansir dari alodokter.com, vape dapat menyebabkan berbagai penyakit seperti paru-paru popcorn, EVALIA yang menyebabkan nyeri dada dan sesak napas, gangguan pada janin, hingga risiko kanker.
Bagaimana dengan self-harm? Apakah ada yang melakukannya juga? Jika kalian ingin menilik lebih lanjut mengenai self-harm. Silahkan bisa baca artikel penulis di mediaperawat.id mengenai “Perilaku Self-Harm pada Remaja”.
Ada yang harus ditekankan dari kejadian di atas, tentu itu soal lingkungan pergaulan. Apakah kita harus memilih dan memilah lingkungan pergaulan? Itu kembali ke individu masing-masing. Karena ada juga individu yang mempunya lingkungan pergaulan yang demikian, namun dia tidak terbawa oleh teman-temannya. Disini juga perlu ditekankan pengawasan dan didikan dari orang tua.
Baca juga : Perilaku Self-Harm pada Remaja
Apapun alasannya, meskipun mekanisme koping di dapat “menenangkan”, namun seperti yang dikatakan oleh L, mekanisme koping ini berdampak bahaya bagi tubuh, meskipun tidak sekarang namun akan berdampak di masa depan.
Ketenangan yang diberikan hanyalah bersifat sementara, dan tentu saja akan bersifat kecanduan. Jika kalian sudah terlanjur dan ingin berhenti silahkan menghubungi layanan berhenti merokok, pusat rehabilitasi atau psikolog, tergantung mekanisme koping maladaptif apa yang kalian alami.
Bagi yang belum memakai mekanisme koping maladaptif, jangan sekali-kali mencoba. Lebih baik pakailah mekanisme koping adaptif. Bisa dengan cara yang sudah penulis sebutkan di atas, atau mungkin kalian juga punya cara sendiri. Yang harus ditekankan disini adalah, mekanisme koping tidak menimbulkan dampak merugikan baik dari fisik maupun mental.
Apapun masalahnya, solusi yang terbaik adalah menyelesaikan masalahnya. Kalian bisa istirahat sejenak untuk menenangkan pikiran dengan menggunakan mekanisme koping yang adaptif, setelah pikiran sudah tenang yang harus kalian lakukan adalah menyelesaikan masalahnya. Ibaratnya “tidur jika capek, tapi jangan lupa untuk bangun”.
(DOK/FM)
Referensi :
https://tirto.id/apa-itu-mekanisme-koping-di-psikologi-cara-untuk-meredakan-stres-f7Qn