banner 728x250

Di Balik Senyum Kemerdekaan: Pengorbanan Perawat pada Masa Revolusi

Pengorbanan Perawat pada Masa Revolusi

Mediaperawat.id – Dalam riwayat perjuangan bangsa Indonesia, kisah para perawat di masa revolusi kemerdekaan seringkali tenggelam di balik riuhnya dentuman senjata dan pekik merdeka para pejuang. Padahal, tanpa tangan-tangan terampil yang bekerja di belakang garis tembak, mungkin banyak pejuang tak pernah kembali ke medan laga. Perawat di zaman perjuangan bukan sekadar pelayan kesehatan yang merawat luka, tetapi juga sahabat, penghibur, sekaligus penjaga asa. 

Mereka hadir di garis batas antara hidup dan mati, bekerja tanpa kenal waktu, dengan bekal seadanya, di tengah tekanan ancaman musuh dan minimnya peralatan medis. Sosok seperti Emmy Saelan, seorang perawat sekaligus pejuang yang gugur di medan tempur pada 1947, menjadi simbol nyata betapa profesi perawat kala itu menyatu dengan spirit pengorbanan total demi kemerdekaan.

Peran perawat di masa perjuangan kerap dimulai dari pelatihan singkat di rumah sakit darurat atau pos-pos Palang Merah Indonesia yang baru dibentuk. Banyak di antara mereka bukan lulusan sekolah perawat formal, melainkan warga sipil, pemuda-pemudi, atau bahkan para ibu rumah tangga yang belajar secara cepat bagaimana menghentikan pendarahan, membalut luka, atau memberi suntikan. 

Mereka harus tanggap menangani korban tembak, ledakan granat, hingga luka tusuk bayonet. Tidak jarang, perawat juga menjadi tenaga logistik, pengantar pesan, bahkan mata-mata yang menyamar demi mengumpulkan informasi. Semua itu dilakukan di tengah keterbatasan fasilitas. Bahan pembalut dibuat dari kain sobekan, obat-obatan sering kali hanya berupa ramuan tradisional atau persediaan minim dari gudang medis yang berhasil direbut.

Baca Juga: Dilema Psikologis Perawat, Antara Kepedulian dan Keletihan

Di garis depan, perawat bergerak bersama pasukan atau berdiam di rumah-rumah penduduk yang disulap menjadi klinik darurat. Mereka mendengar pekikan kesakitan, tangisan, bahkan deru napas terakhir para pejuang. Tidak hanya fisik yang dituntut kuat, mental mereka pun diuji setiap saat. 

Dalam sekejap, perawat harus mampu menahan air mata saat melihat kawan seperjuangan meregang nyawa di hadapan mereka, sambil tetap melanjutkan perawatan pada korban lain yang menunggu giliran. Di tengah malam yang sunyi, mereka tetap berjaga, mendengar sayup suara meriam atau ancaman patroli musuh yang bisa saja masuk dan menyeret mereka pergi.

Bagi banyak perawat, perjuangan bukan hanya tentang menyembuhkan luka tubuh, tetapi juga menjaga semangat juang para pejuang. Ketika peluru dan meriam berkuasa, kata-kata lembut dari seorang perawat bisa menjadi obat yang sama berharganya dengan morfin. 

Mereka merawat sambil menyemangati, menghibur sambil menenangkan ketakutan, dan tak jarang membisikkan doa-doa agar sang pasien memiliki keberanian menghadapi takdirnya. Hubungan emosional ini menjadikan perawat sebagai figur yang dipercaya, bukan hanya oleh para pejuang, tetapi juga oleh masyarakat di sekitar medan pertempuran.

Ada kisah bagaimana perawat perempuan menyelundupkan informasi penting di balik keranjang makanan yang dibawa ke rumah sakit lapangan, atau menyamarkan pejuang yang terluka sebagai pasien biasa agar tidak ditangkap tentara musuh. Mereka berperan sebagai perisai manusia, melindungi korban dari interogasi atau eksekusi. 

Beberapa diantara mereka bahkan ikut mengangkat senjata ketika keadaan memaksa, sebagaimana yang dilakukan Emmy Saelan yang gugur dalam baku tembak demi melindungi pejuang lain. Keberanian ini memperlihatkan bahwa garis antara perawat dan pejuang sering kali kabur di masa revolusi; keduanya menyatu dalam satu tujuan: kemerdekaan.

Tidak jarang, perawat juga terlibat dalam evakuasi besar-besaran saat desa atau kota diserang. Mereka berjalan kaki puluhan kilometer membawa pasien di atas tandu, menembus hutan, menyeberangi sungai, atau bersembunyi di rawa-rawa demi menghindari pengejaran. Perjalanan itu sering dilakukan tanpa penerangan, hanya berbekal cahaya bulan, sambil menghindari titik-titik penjagaan musuh. Dalam kondisi seperti itu, kekuatan fisik dan ketahanan mental mereka menjadi penentu. Setiap langkah adalah perjuangan, setiap napas adalah taruhan nyawa.

Masyarakat kala itu memandang perawat bukan hanya sebagai tenaga kesehatan, tetapi juga pahlawan yang sama berharganya dengan pejuang bersenjata. Mereka menjadi simbol ketulusan pengabdian, karena tak ada janji balas jasa yang menanti. Penghargaan mereka bukanlah pangkat atau medali, melainkan senyum pasien yang selamat atau pesan terakhir yang sempat disampaikan oleh mereka yang pergi. Dalam ingatan para pejuang yang selamat, figur perawat menjadi bagian tak terpisahkan dari kisah hidup dan mati mereka.

Meski demikian, pengorbanan perawat di zaman perjuangan tidak selalu tercatat rapi dalam buku sejarah. Banyak nama yang hilang, banyak kisah yang tak terdokumentasi. Sebagian besar dari mereka kembali ke kehidupan biasa setelah kemerdekaan, membawa luka batin yang tak terlihat. Ada yang kehilangan suami atau anak di medan perang, ada pula yang harus hidup dengan trauma mendengar suara tembakan atau melihat darah. Namun mereka jarang mengeluh. Mereka memilih menyimpan kenangan itu sebagai bagian dari perjalanan bangsa yang harus dikenang.

Baca Juga: Apakah Perawat Harus Mengibarkan Bendera One Piece untuk Bisa Diperhatikan Kesejahteraannya?

Keberadaan tokoh seperti Emmy Saelan membantu mengangkat kembali peran perawat dalam sejarah perjuangan Indonesia. Emmy, yang dikenal gigih dan berani, menjadi inspirasi bahwa profesi perawat di masa revolusi bukanlah profesi pasif. Mereka bisa menjadi ujung tombak perjuangan, mengorbankan hidup demi orang lain, dan menolak menyerah meski dalam situasi paling genting. Semangat ini selayaknya menjadi teladan bagi generasi sekarang, bahwa profesi perawat adalah panggilan kemanusiaan yang melampaui batas profesi itu sendiri.

Kini, di era yang jauh dari dentuman senjata, kisah perawat zaman perjuangan tetap relevan untuk diingat. Mereka mengajarkan bahwa kemerdekaan bukan hanya hasil kerja orang-orang di garis depan pertempuran, tetapi juga buah dari dedikasi mereka yang bekerja di balik layar, merawat tubuh dan jiwa bangsa yang tengah berjuang. Dalam setiap jahitan luka, setiap tetes obat, dan setiap kata penghiburan, tersimpan keberanian yang sama besarnya dengan yang dibawa oleh mereka yang mengangkat senjata. Dan selama kisah-kisah itu terus diceritakan, semangat para perawat pejuang akan tetap hidup, menjadi bagian dari denyut nadi kemerdekaan

Referensi

Hamid, A. (2013). Sejarah Perjuangan Bangsa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.

Sutrisno, B. (2017). “Emmy Saelan: Perawat dan Pahlawan yang Gugur di Medan Perang”. Historia.id.

Palang Merah Indonesia. (2020). Sejarah PMI dalam Revolusi Kemerdekaan. Jakarta: PMI Press.Ricklefs, M. C. (2008). A History of Modern Indonesia. Stanford: Stanford University Press.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *