banner 728x250
Opini  

Ekspor Tenaga Perawat: Ketika Pemerintah Melihat Perawat Sebagai Barang Dagangan

Eksport Tenaga Perawat

Mediaperawat.id – Di tengah keterbatasan sistem pelayanan dan kesejahteraan tenaga kesehatan nasional, pemerintah Indonesia justru semakin gencar mempromosikan ekspor tenaga keperawatan ke luar negeri. Melalui berbagai kerja sama bilateral dan program pelatihan bersertifikasi internasional, ribuan perawat disiapkan untuk dikirim ke Jepang, Jerman, Arab Saudi, dan negara-negara lainnya. 

Fenomena ini menimbulkan paradoks. Di saat negeri ini sendiri kekurangan perawat, justru sumber daya manusianya didorong untuk memenuhi kebutuhan negara lain. Kebijakan ini menimbulkan pertanyaan serius: apakah negara telah memosisikan perawat sebagai barang dagangan dalam pasar global ketenagakerjaan semata-mata untuk menambal kemerosotan devisa negara yang salah satu dari akibat kewalahannya pemerintah dalam pembayaran hutang luar negeri?

Kekurangan Perawat dan Ketimpangan Distribusi

Berdasarkan data World Health Organization (WHO), rasio ideal perawat adalah minimal 4 per 1.000 penduduk. Negara-negara maju seperti Jepang bahkan mencapai rasio 11,8. Sementara Indonesia hanya berada di angka 2,28 per 1.000 penduduk per tahun 2024. Kondisi ini menjadikan Indonesia sebagai salah satu negara dari 5 negara dengan rasio perawat terendah di dunia.

Kondisi ini diperburuk oleh ketimpangan distribusi perawat. Di wilayah perkotaan, jumlah perawat relatif mencukupi, sementara di daerah tertinggal, terluar, dan terdepan (3T), banyak fasilitas kesehatan masih kekurangan tenaga keperawatan. Beberapa puskesmas bahkan hanya memiliki satu atau dua perawat yang harus bekerja tanpa dokter, tanpa alat, dan tanpa jaminan kesejahteraan.

Dengan demikian, sebelum pemerintah berbicara tentang ekspor, kebutuhan mendasar akan akses kesehatan yang merata di seluruh Indonesia harus dijadikan prioritas utama. Ketimpangan ini menjadi pengingat bahwa kebijakan kesehatan seharusnya berpijak pada asas keadilan sosial bagi seluruh tenaga kesehatan, bukan sekadar respon terhadap pasar tenaga kerja global. 

Ketika akses dan distribusi tenaga kesehatan belum terpenuhi secara menyeluruh, kita harus bertanya: apakah sudah saatnya melangkah ke luar sebelum menuntaskan tugas di rumah sendiri?

Baca Juga: World Environment Day 2025: Momen Krusial Mengejawantahkan Environmental Theory Florence Nightingale

Dorongan Ekspor dan Narasi Kesejahteraan yang Menyesatkan

Pemerintah, bersama organisasi profesi seperti Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI), membungkus kebijakan ekspor perawat dalam narasi peningkatan kesejahteraan dan daya saing global. Pelatihan bahasa Jepang, Jerman, serta soft skill keperawatan internasional dipromosikan secara masif. Bahkan, sebagian institusi pendidikan keperawatan kini menjadikan “siap kerja ke luar negeri” sebagai daya tarik utama.

Namun, narasi ini tidak lepas dari kritik. Kesejahteraan yang dijanjikan hanya berlaku bagi segelintir perawat yang lolos seleksi dan mampu bertahan di luar negeri. Sementara ribuan perawat lain tetap bekerja di dalam negeri dengan status honorer, kontrak, atau sukarela, menerima gaji jauh di bawah UMR, tanpa jaminan sosial dan karier yang jelas.

Alih-alih meningkatkan kesejahteraan kolektif profesi, narasi ekspor justru membelokkan fokus kebijakan dari pembenahan ketimpangan kesejahteraan struktural dalam negeri. Inilah saatnya untuk mempertanyakan: apakah ekspor perawat merupakan bentuk solusi atau justru pelarian dari tanggung jawab negara terhadap kewajiban mensejahterakan profesi perawatnya sendiri? 

Kita perlu kembali menimbang arah kebijakan: apakah betul jalan ke luar negeri adalah satu-satunya jalan untuk memperbaiki kesejahteraan profesi, atau justru kita perlu memulainya dari dalam?

Kapitalisme Kesehatan dan Komodifikasi Perawat

Fenomena ekspor perawat tidak dapat dilepaskan dari konteks kapitalisme global. Dalam sistem ini, negara-negara maju mengalami defisit tenaga kerja kesehatan karena menua-nya populasi dan menurunnya minat generasi muda untuk menjadi perawat. Sebagai solusinya, mereka membuka peluang besar untuk menerima perawat migran dari negara berkembang.

Negara-negara seperti Indonesia merespons peluang ini bukan dengan memperkuat sistem kesehatan domestik, melainkan dengan menjadikan perawat terpilih sebagai komoditas ekspor. Inilah wujud nyata dari kapitalisme kesehatan—di mana kerja perawat bukan lagi semata-mata pelayanan kemanusiaan, tetapi alat untuk mendulang devisa negara dan menurunkan angka pengangguran terdidik.

Perawat menjadi barang dagangan yang dipoles dengan pelatihan-pelatihan tambahan agar laku di pasar luar negeri, sementara kebutuhan peningkatan kualitas dan narasi kesejahteraan nakes dalam negeri diabaikan. Ini adalah bentuk kolonialisme baru yang membungkus dirinya dalam bahasa profesionalisme dan potensi berkarir luar negeri.

Memahami konteks ini penting untuk membedah kebijakan kesehatan yang berlaku. Kita tidak bisa lagi melihat kebijakan ekspor perawat sebagai sesuatu yang netral; ia adalah bagian dari sistem yang lebih besar yang mengatur siapa yang berhak atas layanan kesehatan berkualitas dan siapa yang sekadar menjadi penyedia. 

Kritik terhadap arah kebijakan ini penting agar kita tidak terus terjebak dalam logika pasar yang mengorbankan nilai-nilai kemanusiaan dan hanya berfokus pada rumus ekonomi Supply and Demand.

Baca Juga: Perawat Yang Suci dan Kotornya Dunia Politik: Alasan Mengapa Perawat Perlu Memahami Politik

Dampak Sistemik terhadap Kesehatan Nasional

Pengiriman tenaga perawat ke luar negeri dalam jumlah besar berpotensi menimbulkan krisis jangka panjang bagi sistem kesehatan Indonesia. Pertama, kekurangan perawat di dalam negeri akan semakin parah jika tidak dibarengi dengan peningkatan jumlah dan kualitas lulusan baru.

Kedua, penguatan institusi pelatihan ekspor (Pemerintah/Swasta) seringkali mengalihkan perhatian dari reformasi sistemik yang dibutuhkan: pembenahan kurikulum keperawatan, peningkatan rasio dosen, peningkatan fasilitas pendidikan, serta sistem insentif yang adil bagi perawat di pelosok.

Ketiga, migrasi tenaga perawat berisiko memperbesar kesenjangan kualitas layanan kesehatan antar wilayah. Kota-kota besar akan tetap mendapatkan perawat terbaik, sementara daerah miskin akan menerima sisa.

Jika dibiarkan, dampak sistemik ini dapat menjadi bom waktu yang menghancurkan fondasi kesehatan nasional. Maka, diperlukan intervensi kebijakan yang berani dan berpihak untuk mencegah keruntuhan ini dan memastikan bahwa sistem kesehatan nasional melayani rakyat secara adil dan merata. Kita perlu membangun fondasi kebijakan yang menyeimbangkan antara aspirasi global dan kebutuhan domestik secara berkelanjutan.

Tanggung Jawab PPNI dan Pemerintah

Sebagai organisasi profesi, PPNI seharusnya tidak hanya menjadi fasilitator ekspor, tetapi pelindung utama hak dan kesejahteraan perawat. Dalam beberapa kasus, PPNI tampak terlalu bergantung dengan kebijakan pemerintah dan investor, sehingga mengaburkan fungsinya sebagai representasi kepentingan profesi dalam negeri. PPNI perlu bersikap kritis terhadap arah kebijakan negara yang menjadikan perawat sebagai komoditas ekonomi, serta menyuarakan aspirasi akar rumput perawat yang bekerja dalam kondisi memprihatinkan di dalam negeri.

Sementara itu, pemerintah memiliki tanggung jawab untuk tidak hanya memproduksi perawat, tetapi juga memastikan bahwa mereka mendapat tempat kerja yang layak di dalam negeri. Negara harus berhenti menjadikan ekspor perawat sebagai solusi populis jangka pendek, dan mulai membangun sistem kesehatan nasional yang adil dan bermartabat. Kesehatan adalah hak rakyat, bukan komoditas. Kebijakan kesehatan harus didesain dengan prinsip keadilan sosial, bukan efisiensi pasar.

Sudah saatnya pemerintah dan PPNI bersama-sama membangun visi jangka panjang: menjadikan Indonesia sebagai pusat pelayanan kesehatan regional yang unggul. Alih-alih terus mengirim perawat keluar negeri, justru Indonesia harus menjadi negara tujuan berobat karena kualitas dan kuantitas perawatnya. 

Dengan peningkatan kualitas pendidikan, kesejahteraan, dan distribusi tenaga perawat, Indonesia bisa mencapai swasembada perawat berkualitas pada tahun 2030. Ini adalah bentuk nyata pengejawantahan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) ke-3: memastikan kehidupan yang sehat dan mendukung kesejahteraan untuk semua usia. Solusi tersebut lebih menguntungkan secara kemanusiaan dan ekonomi.

Tanggung jawab negara dan organisasi profesi tidak bisa ditunda. Mereka harus segera mengambil sikap proaktif dan progresif jika tidak ingin kehilangan kepercayaan publik dan masa depan profesi keperawatan di tanah air. Ketika sistem yang ada berorientasi pada keadilan dan martabat profesi, maka Indonesia tidak lagi perlu mengekspor perawat. Justru dunia yang akan datang mencari kesembuhan di negeri ini.

Solusi Jangka Pendek dan Panjang

  1. Jangka Pendek:

– Moratorium ekspor perawat dari daerah-daerah dengan rasio di bawah standar nasional.

– Insentif khusus bagi perawat yang bersedia bekerja di daerah 3T.

– Evaluasi menyeluruh terhadap kebijakan kerja sama penempatan perawat ke luar negeri.

– Penataan ulang sistem pendidikan keperawatan agar berfokus pada kebutuhan domestik.

  1. Jangka Panjang:

– Reformasi sistem jaminan kerja bagi perawat: gaji layak, status kepegawaian tetap, dan jaminan sosial.

– Investasi besar-besaran dalam pendidikan keperawatan dan distribusi dosen berkualitas ke seluruh wilayah.

– Penguatan sistem data nasional untuk kebutuhan tenaga kesehatan yang transparan dan akuntabel.

– Penegakan regulasi migrasi tenaga kesehatan yang adil dan berbasis etika profesi.

– Pembangunan sistem layanan kesehatan kelas dunia di Indonesia agar menjadi pusat destinasi berobat kawasan Asia Tenggara.

Ekspor perawat tidak boleh menjadi jalan pintas untuk menutupi kegagalan negara dalam menyejahterakan tenaga kesehatannya terutama perawat. Jika dibiarkan, Indonesia akan kehilangan banyak perawat potensial, sementara rakyat tetap tak terlayani secara layak. Kesehatan adalah fondasi peradaban. 

Baca Juga: Prioritas Kesehatan di Era Sustainable Development Goals (SDGs): Menghadapi Surplus Perawat di Indonesia

Jika negara memperlakukan perawat sebagai barang dagangan, maka sejatinya ia sedang menjual masa depan bangsanya sendiri. Saatnya kita menuntut kebijakan yang adil, berpihak pada rakyat, dan menghormati martabat profesi keperawatan sebagai penjaga kehidupan, bukan sekadar penggerak ekonomi ekspor jasa.

Indonesia harus mulai bermimpi besar: bukan hanya menjadi negara pengirim perawat, tetapi menjadi bangsa yang mampu menarik dunia untuk datang dan berobat di negeri ini. Karena kualitas dan kesejahteraan perawat kita adalah cermin martabat bangsa itu sendiri.

Sumber:

ANMJ. (2025, May 12). State of the World’s Nursing 2025 report: Inequities threaten global health goals – ANMJ. https://anmj.org.au/state-of-the-worlds-nursing-2025-report-inequities-threaten-global-health-goals/

da Silva, R. N., & Ferreira, M. de A. (2021). Nursing and society: Evolution of Nursing and of capitalism in the 200 years of Florence Nightingale. Revista Latino-Americana de Enfermagem, 29, e3425. https://doi.org/10.1590/1518-8345.4482.3425

Lee, S. (2025, May 27). Capitalism in Labor Markets. https://www.numberanalytics.com/blog/capitalism-in-labor-markets

Mulyani, S. M. (2024, December 9). Krisis Tenaga Perawat: Tantangan dan Solusi Untuk Masa Depan Kesehatan – Kompasiana.com. https://www.kompasiana.com/shofiya23798/6756e380ed6415568a0c3382/krisis-tenaga-perawat-tantangan-dan-solusi-untuk-masa-depan-kesehatan?lgn_method=google&google_btn=onetap

PPNI. (2023, March 24). Menkes Budi G Sadikin Hadiri Puncak Peringatan HUT PPNI Ke-49. https://dev.ppni-inna.org/detail-berita/jpNnpARulino, L. (2024, November 14).

Indonesia Negara Ke-4 dengan Rasio Perawat Terendah di Dunia – perawat.org. https://perawat.org/indonesia-negara-ke-4-dengan-rasio-perawat-terendah-di-dunia/

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *