Remaja merupakan masa transisi dari masa kanak-kanak menuju masa dewasa. Batas usia remaja yaitu 10-20 tahun dengan pembagian remaja awal 10-14 tahun, remaja akhir 15-20 tahun (WHO, 2015). Menurut World Health Organization (2017) remaja di dunia berjumlah 8% dari populasi dunia (1,2 juta jiwa berusia 10 sampai 19 tahun). Masa kritis remaja berada dalam periode fisik, sosial, psikologis, kognitif serta kemampuan untuk mengekspresikan dan memahami emosi untuk memberikan pengalaman emosional yang mempengaruhi perilaku (Parasar & Dewangan, 2018). Masa remaja akan menimbulkan perubahan-perubahan fisik yang membentuk konsep dirinya dan menilai kebermaknaan dirinya dalam kehidupan (Nurliana, 2017)
Permasalahan kesehatan jiwa bagi remaja menjadi salah satu perhatian dunia saat ini. Menurut WHO (2018) masa remaja merupakan salah satu tahap perkembangan yang paling berisiko dalam kesehatan jiwa. Permasalahan kesehatan jiwa merupakan penyebab ketiga terbesar pada kematian remaja. Salah satu faktor penyebab permasalahan kesehatan jiwa pada remaja adalah rasa harga diri yang rendah. Bista, Thapa, Sapkota, Singh, dan Pokharel (2016) mengatakan bahwa permasalahan kesehatan jiwa remaja disebabkan oleh kurangnya perhatian dari lingkungan sekitar remaja, baik itu saat berada di sekolah maupun sewaktu bersama keluarga di rumah. Dengan demikian, terlihat bahwa perkembangan remaja memiliki kerentanan yang tinggi untuk memiliki permasalahan kesehatan jiwa.
Kesehatan jiwa pada remaja tergantung pada tahap perkembangan yang dilaluinya. Menurut Erikson (2012) tahap perkembangan remaja meliputi identitas vs kekacauan identitas. Remaja akan mencari jati dirinya tidak hanya dilingkungan keluarga, sekolah namun juga di lingkungan masyarakat. Pada saat pencarian identitas ini akan menggambarkan konsep diri pada remaja tersebut.
Konsep diri merupakan ciri khas bagi seorang individu. Konsep diri merupakan suatu persepsi dari seorang individu yang kompleks dan interaktif yang membuat individu tersebut percaya terhadap kehidupan dan kebiasaannya yang sesuai dengan kultur atau budaya (Kraja, 2014). Konsep diri adalah hasil penilaian seseorang terhadap kepribadian yang dimilikinya dan menjadi pembeda dengan individu lainnya yang dibentuk secara primer dan sekunder (Bharathi & Sreedevi, 2013). Konsep diri yang tidak bagus akan menimbulkan harga diri rendah pada remaja.
Harga diri adalah suatu hasil penilaian individu terhadap dirinya yang diungkapkan dalam sikap-sikap yang diungkapkan dalam sikap bersikap, positif dan negatif (Dariyo, A & ling, 2002). Harga diri merupakan konstruk yang penting dalam kehidupan sehari-hari dan berperan dalam menentukan tingkah laku seseorang meliputi penilaian, perasaan atau pandangan individu terhadap dirinya atau hal-hal yang berkaitan dengan dirinya yang diekspresikan pada dimensi positif yaitu menghargai kelebihan diri serta menerima kekurangan yang ada dan dimensi negatif yaitu tidak puas dengan kondisi diri, tidak menghargai kelebihan diri serta melihat diri sebagai sesuatu yang selalu kurang (Conger, 2001). Harga diri akan meningkat pada masa remaja awal sampai remaja akhir, kemudian pada suatu saat harga diri akan menurun (Rahmawati, 2007).
Harga diri dapat dinilai dari empat komponen yaitu Significance (keberartian), Power (kekuatan), Competence (kemampuan), Virtue (kebijakan) (Rosenberg, 1978). Harga diri pada remaja dibagi menjadi lima yang pertama perasaan ingin dihargai yaitu perasaan ingin diterima oleh orang lain, perasan ingin dihargai, didukung diperhatikan, dan merasa berguna. Kedua percaya diri dalam bersosialisasi yaitu merasa percaya diri, mudah bergaul dengan orang lain, baik baik dikenal maupun baru kenal. Ketiga kemampuan akademik yaitu Sukses memenuhi tuntutan prestasi ditandai oleh keberhasilan individu dalam mengerjakan bermacam-macam tugas pekerjaan dengan baik dan benar, keempat penampilan fisik yaitu kemampuan dirinya merasa punya kelebihan, merasa dirinya menarik, dan merasa percaya diri, yang kelima Kemampuan fisik yaitu Mampu melakukan sesuatu dalam bentuk aktivitas, dapat berpartisipasi dalam hal kemampuan fisik (Rosenberg, 1978).
Harga diri rendah adalah evaluasi diri yang negatif, berupa mengkritik diri sendiri, dimana seseorang memiliki fikiran negatif dan percaya bahwa mereka ditakdirkan untuk gagal (Windarwati, 2016). Harga diri rendah sangat rentan terjadi pada seseorang dengan situasi penuh dengan stressor. Respon kognitif ditunjukan berupa penyimpangan fikiran, kebingungan, secara afektif pasien merasa rendah diri, merasa takut dan malu, secara perilaku pasien menunjukkan pasif dan tidak responsif, kehilangan inisiatif dan sulit mengambil keputusan (Fausiah & Widury, 2014).
Baca juga : Meditasi untuk Menurunkan Kadar Tekanan Darah
Oleh karena itu, kita harus mengenali tanda dan gejala harga diri rendah pada remaja. Tanda dan gejala harga diri rendah menurut Carpenito, L.J (1998:352), Keliat B.A (1994:20), CMHN (2006), Townsend (1998) sebagai berikut :
- Perasaan malu terhadap diri sendiri
- Rasa bersalah terhadap diri sendiri
- Merendahkan martabat
- Gangguan hubungan sosial, seperti menarik diri
- Percaya diri kurang, misalnya sukar mengambil keputusan
- Mencederai diri, akibat harga diri yang rendah disertai harapan yang suram g. Ungkapan negatif tentang diri sendiri :
1. Data Subjektif, mengungkapkan tentang :
– Hal negatif diri sendiri dan orang lain
– Perasaan tidak mampu
– Pandangan hidup yang pesimis
– Penolakan terhadap kemampuan diri
– Mengevaluasi diri tidak mampu mengatasi situasi
2. Data Objektif :
– Penurunan produktivitas
– Tidak berani menatap lawan bicara
– Lebih banyak menundukkan kepala saat berinteraksi
– Bicara lambat dengan dengan nada suara lemah
– Bimbang, perilaku yang non asertif
– Mengekspresikan tidak berdaya atau tidak berguna
- Kurang memperhatikan perawatan diri, berpakaian tidak rapih, selera makan kurang, tidak berani menatap lawan bicara, lebih banyak menunduk, bicara lambat dengan nada suara lemah.
- Ekspresi rasa malu atau bersalah
- Ragu-ragu untuk mencoba hal-hal baru atau situasi-situasi baru
- Hipersensitivitas terhadap kritik (Nurhalimah, 2006)
(DOK/TM)
DAFTAR REFERENSI
Bharathi, T. A., & Sreedevi, P. (2013). A Study on the Self-Concept of Adolescents. International Journal of Science and Research (IJSR), 14(10), 2319–7064.
Conger, J.J. Adolescence and youth. Psychological development in a changing word. 4th edition. New York : herper collin publishers.2001
Dariyo, A & ling, Y. Interaksi social disekolah dan harga diri pelajar sekolah umum (SMU). Jurnal Psikologi Universitas Tarumanegara.37-39.2002.
Keliat, B.A.2001. Proses Keperawatan Kesehatan Jiwa. Jakarta : EGC
Kraja, P. (2014). Self-Concept and Self-Evaluation in the Transition From Primary To Lower Secondary Education. The Eurasia Proceedings of Educational & Social Sciences, 1(2), 420–426.
Nurliana, Y. (2017). Konsep Diri Remaja. Psikologi & kemanusian, 4(2), 978–979.
Nurhalimah. (2016). Keperawatan Jiwa. Jakarta Selatan : Kementerian Kesehatan Republik Indonesia
Parasar, A., & Dewangan, R. L. (2018). A Comparative Study of Self Esteem and Level of Depression in Adolescents Living in Orphanage Home and Those Living With Parents. International Journal of Humanities and Social Science Research, 4(2), 51–53.
Rahmawati. A. harga diri pada remaja obesitas. http://library.usu.ac.id/download/fk/pdf. diakses tanggal 20 Maret 2007
Rosenberg. M., & Pearlin, L. 1. Kelas sosial dan harga diri di kalangan anak-anak dan orang dewasa. American Journal of Sosiologi,, 84 53-77.1978.
World Health Organization. (2015). Pengelompokan Usia. New York.
World Health Organization. (2017). Health Adolescence 2017. New York
World Health Organization. (2018). Health Adolescence 2018. New York.