banner 728x250
Opini  

Kepemimpinan Perawat di Era Universal Health Coverage (UHC): Apakah Perawat di Indonesia Sudah Siap Memimpin di Era Ini?

Kepemimpinan Perawat di Era Universal Health Coverage (UHC)

Mediaperawat.id – Sebagai perawat profesional yang mendedikasikan diri untuk merawat pasien, apakah kamu termasuk seseorang yang sering berkata atau mengeluh “Saya hanya perawat biasa…” saat berdiskusi soal kebijakan, inovasi pelayanan, atau bahkan sekadar menyampaikan pendapat dalam rapat unit?

Kalimat keluhan atau gumaman seperti itu mungkin sering terdengar seolah-olah menjadi perawat berarti hanya boleh fokus pada injeksi, tensi, dan mencatat rekam medis. Selebihnya? Bukan urusan kita.

Tapi di tengah tantangan sistem kesehatan yang semakin kompleks, terutama dengan diterapkannya Universal Health Coverage (UHC) di Indonesia, justru perawat tidak bisa terus berada di pinggir arena. Kita berada di garda terdepan pelayanan, kita tahu denyut pasien lebih dari siapa pun, dan kita melihat langsung apa yang berhasil dan tidak di lapangan. Lantas, mengapa kita tidak ikut memimpin perubahan?

Era Universal Health Coverage (UHC) menuntut pelayanan kesehatan yang adil, berkualitas, dan terjangkau untuk semua. Ini bukan hanya tugas pemerintah, ini perjuangan kolektif yang juga butuh kepemimpinan perawat. Pertanyaannya: “Siapkah para perawat Indonesia, mengambil peran strategis itu?”

Realita Perawat di Lapangan: Antara Semangat dan Keterbatasan 

Di rumah sakit, pelayanan keperawatan mempunyai posisi yang sangat strategis dalam menentukan mutu pelayanan karena jumlah perawat terbanyak dari profesi lain dan paling lama kontak dengan klien. Dengan demikian, maka keperawatan adalah ujung tombak pelayanan kesehatan dan sering digunakan sebagai indikator kualitas pelayanan kesehatan yang bermutu, serta berperan dalam menentukan tingkat kepuasan klien (Yuniarti, 2012; Maweikere, Manampiring, & Toar, 2021).

Baca Juga: Perawat Yang Suci dan Kotornya Dunia Politik: Alasan Mengapa Perawat Perlu Memahami Politik

Di banyak rumah sakit, perawat menjadi profesi yang paling dekat dengan pasien. Kita yang mendengar keluhan pertama, menenangkan pasien yang cemas, dan mendampingi mereka hingga pulang atau kadang, hingga akhir hayat. Namun ironisnya, kedekatan itu jarang diiringi dengan peran strategis dalam pengambilan keputusan. 

Dalam dunia professional, kemampuan seseorang untuk mengambil keputusan secara mandiri berdasarkan pengetahuan, etika dan tanggung jawab disebut dengan otonomi. American Association of Colleges of Nursing (AACN) mendefinisikan otonomi (autonomy) sebagai hak untuk menentukan nasib sendiri. Dalam praktik keperawatan profesional, nilai otonomi tercermin ketika perawat menghormati hak pasien untuk membuat keputusan tentang perawatan kesehatan mereka.

Hal ini menunjukkan bahwa otonomi bukan sekadar hak untuk “berdiri sendiri,” tetapi juga bentuk kepercayaan bahwa perawat mampu menilai kondisi pasien dan menentukan intervensi yang tepat tanpa harus selalu menunggu instruksi dari pihak lain. 

Dalam banyak kasus, perawat masih dipandang sebagai pelaksana teknis daripada pengambil keputusan professional. Pengambilan keputusan tidak hanya berpengaruh pada proses pengelolaan asuhan keperawatan, tetapi penting untuk meningkatkan kemampuan merencanakan perubahan. Perawat pada semua tingkatan posisi klinis harus memiliki kemampuan menyelesaikan masalah dan mengambil keputusan yang efektif, baik sebagai pelaksana/staf maupun sebagai pemimpin (Pashar & Dwiantoro, 2020).

Namun, di tengah keterbatasan itu, benih-benih perubahan mulai terlihat: perawat-perawat muda yang mulai membuat inovasi sederhana di unit kerja, membuat edukasi digital untuk pasien, bahkan mulai aktif di forum diskusi kebijakan. Mungkin belum banyak. Tapi mereka ada. Dan mereka adalah bukti bahwa kepemimpinan perawat bukan sekadar mimpi, ia sedang tumbuh pelan-pelan.

Mengapa Kepemimpinan Perawat Penting dalam UHC?

Universal Health Coverage (UHC) memiliki makna bahwa semua orang memiliki akses pada seluruh rangkaian layanan kesehatan berkualitas yang mereka butuhkan, kapan dan dimana mereka membutuhkannya, tanpa kesulitan finansial. Ini mencakup keseluruhan kontinuitas layanan kesehatan esensial, dari promosi kesehatan hingga pencegahan, perawatan, rehabilitasi, dan perawatan paliatif sepanjang siklus hidup. 

Baca Juga: Burnout di Kalangan Perawat ICU: Antara Tanggung Jawab dan Kesehatan Mental

Demi terlaksananya Universal Health Coverage ini, perlu adanya tenaga kesehatan dan care workers dengan kombinasi keterampilan yang optimal di seluruh level sistem kesehatan, yang terdistribusi secara adil, didukung dengan akses terhadap produk yang terjamin kualitasnya, dan menikmati pekerjaan yang layak dan sejahtera. 

Universal Health Coverage melindungi orang-orang dari konsekuensi beban finansial akibat membayar layanan kesehatan dari uang mereka sendiri, mengurangi risiko bahwa orang-orang akan terjebak dalam kemiskinan karena biaya layanan dan perawatan yang diperlukan mengharuskan mereka untuk menggunakan tabungan hidup mereka, menjual aset, meminjam, dan atau menghancurkan masa depan mereka dan sering kali masa depan anak-anak mereka. 

Mencapai Universal Health Coverage (UHC) adalah salah satu target yang ditetapkan oleh negara-negara di dunia ketika mereka mengadopsi SGDs 2030 pada tahun 2015. Pada pertemuan United Nations General Assembly High Level Meeting on UHC in 2019, negara-negara menegaskan kembali bahwa kesehatan adalah prasyarat serta hasil dan indikator dari dimensi sosial, ekonomi, dan lingkungan dari pembangunan berkelanjutan. WHO’s Thirteenth General Programme of Work bertujuan untuk memastikan satu milyar orang lebih mendapatkan manfaat dari UHC pada tahun 2015, sambil juga berkontribusi pada target 1 milyar orang lebih yang menikmati kesehatan dan kesejahteraan yang lebih baik.

Universal Health Coverage bukan hanya tentang jumlah fasilitas kesehatan atau anggaran negara. Ini tentang memastikan setiap warga kaya atau miskin, di kota atau desa mendapat layanan kesehatan bermutu. 

Inilah saatnya perawat mengambil peran yang besar. Kita tidak hanya menjadi ujung tombak pelayanan, tapi juga bisa menjadi penghubung antara sistem dan masyarakat. 

Kita yang memahami konteks sosial pasien, budaya lokal, bahkan hambatan ekonomi yang membuat pasien enggan berobat. Tanpa kepemimpinan perawat, pelayanan UHC bisa kehilangan sentuhan manusianya. Tanpa suara perawat, kebijakan kesehatan berisiko kehilangan realitas lapangan.

Lalu, Siapa yang Dimaksud “Pemimpin”?

Seringkali kita membayangkan kepemimpinan hanya milik kepala ruangan, manajer keperawatan, atau orang yang duduk di struktur organisasi. Padahal, setiap perawat bisa memimpin dari mana pun posisinya. Pemimpin adalah dia yang berani menyampaikan ide untuk memperbaiki pelayanan, meskipun masih junior. 

Pemimpin adalah dia yang memberi semangat ke rekan sejawat saat shift malam mulai terasa berat. Pemimpin adalah dia yang tidak hanya bicara soal apa yang salah, tapi juga mencari apa yang bisa diperbaiki. Kepemimpinan bukan tentang jabatan. Tapi tentang keberanian dan kesadaran bahwa kita punya peran lebih dari yang selama ini kita kira.

Baca Juga: Ekspor Tenaga Perawat: Ketika Pemerintah Melihat Perawat Sebagai Barang Dagangan

Sudah Saatnya Kita Berkata Siap

Jika ditanya “Apakah kita sudah siap?”, mungkin banyak yang akan ragu. Tapi perubahan jarang datang karena kesiapan penuh, perubahan datang karena kemauan untuk mencoba. Sebagai perawat muda, ini waktunya kita tidak hanya bekerja tapi juga memimpin. 

Memimpin diri sendiri, memimpin perubahan kecil di unit kerja, dan suatu hari nanti memimpin arah baru bagi profesi kita. Universal Health Coverage hanya bisa berhasil jika semua pihak ikut bergerak. Termasuk, perawat Indonesia.

“Kita tidak bisa selamanya menunggu ‘diberi ruang’. Kadang, kita perlu menciptakan ruang itu sendiri yang dimulai dari keberanian bersuara.”

Harapan untuk Sistem Kesehatan Indonesia

Keberhasilan Universal Health Coverage tidak cukup hanya dengan memperluas akses dan menambah fasilitas kesehatan. Kita juga butuh sistem yang membuka ruang partisipasi bagi semua profesi terutama perawat untuk ikut terlibat dalam proses pengambilan keputusan, perencanaan kebijakan, hingga evaluasi pelayanan.

Sistem kesehatan Indonesia dapat melihat perawat bukan hanya sebagai pelaksana, tetapi sebagai mitra strategis dalam transformasi layanan. Bahwa suara perawat bukan hanya terdengar di ruang perawatan, tapi juga di ruang rapat kebijakan. Bahwa pengalaman perawat tidak hanya berhenti di ranah praktik, tapi diterjemahkan menjadi inovasi dan arah baru bagi pelayanan kesehatan. 

Dengan memberi ruang bagi kepemimpinan perawat, kita tidak hanya memperkuat profesi ini, kita juga memperkuat sistem kesehatan secara keseluruhan. Karena perawat yang diberdayakan akan melahirkan pelayanan yang lebih manusiawi, lebih inklusif, dan lebih dekat dengan kebutuhan nyata masyarakat.

Referensi

AACN. (2008). The Essentials is of Baccalaureate Education for Professional Nursing. Retrieved from http://www.aacnnursing.org/Portals/42/Publications/BaccEssentials08.pdf

Maweikere, Y., Manampiring, A. E., & Toar, J. M. (2021, Februari). Hubungan Beban Kerja Perawat dengan Tingkat Kepuasan Pasien dalam Pemberian Asuhan Keperawatan di Ruang Rawat Inap RSU GMIM Pancaran Kasih Manado. Jurnal Keperawatan, 9(1), 71-77. Retrieved Juni 19, 2025, from https://ejournal.unsrat.ac.id

Pashar, I., & Dwiantoro, L. (2020). Pengaruh Empowerment Terhadap Pengambilan Keputusan Perawat: Kajian Literature Review. Journal of Holistic Nursing Science, 124-132.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *