banner 728x250
Opini  

World Environment Day 2025: Momen Krusial Mengejawantahkan Environmental Theory Florence Nightingale

World Environment Day 2025

Mediaperawat.id – Setiap tanggal 5 Juni, dunia memperingati Hari Lingkungan Hidup Sedunia (World Environment Day). Momentum tahunan ini bukan sekadar seremoni atau simbolis belaka. Lebih dari itu, hari ini merupakan panggilan moral yang mendesak bagi seluruh umat manusia untuk sadar bahwa krisis lingkungan saat ini adalah krisis kemanusiaan yang sangat nyata dan mendalam, dimana salah satunya berdampak pada kesehatan masyarakat.

Krisis Lingkungan adalah Krisis Kesehatan

Perubahan iklim bukan sekadar perubahan cuaca biasa, melainkan ancaman serius yang berdampak langsung pada kesehatan manusia. Gelombang panas ekstrem yang semakin sering terjadi meningkatkan risiko heat stroke, dehidrasi, serta penyakit jantung dan paru-paru. Kelompok rentan seperti lansia, anak-anak, penderita penyakit kronis, dan masyarakat miskin menanggung beban paling besar. 

Kualitas udara yang memburuk akibat polusi, kebakaran hutan, dan peningkatan ozon permukaan memperparah kondisi asma dan gangguan pernapasan lainnya. Musim alergi pun menjadi lebih panjang dan parah akibat peningkatan serbuk sari di udara.

Fenomena cuaca ekstrem seperti banjir, badai, dan kekeringan tidak hanya menyebabkan cedera fisik dan trauma psikologis, tetapi juga mempercepat penyebaran penyakit menular. 

Penyakit yang ditularkan oleh vektor seperti malaria dan demam berdarah mulai menjangkau wilayah baru, karena nyamuk dan kutu kini dapat hidup di area yang sebelumnya tidak memungkinkan. Risiko penyakit akibat air juga meningkat akibat kontaminasi sumber air minum dan rekreasi.

Selain itu, sistem pangan global mengalami gangguan besar. Gagal panen dan masalah distribusi pangan menimbulkan ancaman serius terhadap keamanan dan kualitas gizi masyarakat dunia. Krisis lingkungan juga mempengaruhi kesehatan mental, terutama melalui stres akibat kehilangan tempat tinggal dan kerusakan lingkungan yang meluas. 

Kelompok rentan kembali menjadi yang paling terdampak, karena mereka memiliki paparan lebih besar dan kemampuan adaptasi yang lebih rendah terhadap ancaman iklim yang semakin kompleks, semua ini terjadi akibat dari ulah manusia sendiri yang memiliki pandangan egois bernama antroposentris

Baca Juga: Prioritas Kesehatan di Era Sustainable Development Goals (SDGs): Menghadapi Surplus Perawat di Indonesia.

Paradigma Antroposentris 

Krisis yang kita alami saat ini berakar dari paradigma antroposentris yaitu sebuah pandangan yang menempatkan manusia sebagai pusat dan penguasa alam. Selama berabad-abad, manusia memandang bumi sebagai sumber daya tanpa batas, tempat segala sesuatu tersedia untuk dimanfaatkan demi kebutuhan dan kemajuan manusia. Namun, eksploitasi tanpa batas ini telah menyebabkan kerusakan besar pada hutan, sungai, dan atmosfer, yang pada akhirnya mengancam keberlangsungan hidup manusia itu sendiri.

Paradigma antroposentris ini menjebak kita dalam siklus destruktif: demi kemajuan ekonomi, kita merusak ekosistem yang mendukung kehidupan. Ironisnya, kerusakan yang kita ciptakan pada alam justru kembali menghantam kita melalui krisis iklim dan kesehatan yang semakin parah. Oleh karena itu perlu mengubahnya dalam pendekatan yang lebih adil dan beradab yaitu paradigma ekosentris.

Dari Antroposentris ke Ekosentris

Di tengah krisis yang mengancam ini, muncul peluang untuk perubahan paradigma. Kita perlu beralih dari pandangan antroposentris ke paradigma ekosentris, yang menempatkan alam dan seluruh kehidupan sebagai pusat perhatian. Dalam paradigma ini, hubungan manusia dengan alam bukan lagi dominasi dan eksploitasi, melainkan simbiosis yang saling menghormati.

Menghargai alam sebagai “diri sendiri” adalah kunci untuk menjaga keberlanjutan hidup manusia dan makhluk lain di bumi. Perubahan ini bukan sekadar perubahan pemikiran, tetapi juga perubahan sikap dan tindakan nyata dalam menjaga dan merawat lingkungan.

Environmental Theory

Lebih dari seabad lalu, Florence Nightingale menegaskan pentingnya lingkungan yang bersih dan sehat dalam proses penyembuhan. Saat merawat tentara di medan perang, Nightingale menyadari bahwa kebersihan udara, pencahayaan, dan kondisi lingkungan sangat menentukan keberhasilan perawatan pasien. Inilah dasar dari Environmental Theory dalam keperawatan.

Jika kita memandang teori ini dalam konteks saat ini, “lingkungan” yang dimaksud bukan hanya ruang rumah sakit, tetapi seluruh planet ini. Polusi udara, pencemaran air, dan kerusakan ekosistem mengurangi peluang kesembuhan dan kesehatan sejati. Semangat Nightingale tetap relevan: menjaga lingkungan adalah bagian integral dari menjaga kesehatan manusia.

Baca Juga: Perawat Yang Suci dan Kotornya Dunia Politik: Alasan Mengapa Perawat Perlu Memahami Politik

Perawat dalam Krisis Lingkungan dan Kesehatan

Bagan Tanggung jawab Lingkungan Perawat
Gambar: Bagan Tanggung jawab Lingkungan Perawat (Sumber: https://bmcnurs.biomedcentral.com)

Perawat memegang peranan penting sebagai garda terdepan dalam pelayanan kesehatan dan menjadi saksi langsung bagaimana kondisi lingkungan memengaruhi kesehatan pasien. Seorang perawat yang merawat anak dengan asma akibat polusi udara sebenarnya sedang berhadapan langsung dengan krisis lingkungan.

Perawat memiliki posisi strategis untuk menghubungkan masalah lingkungan dengan kesehatan individu dan komunitas. Mereka tidak hanya merawat pasien secara fisik, tetapi juga dapat menjadi agen perubahan yang menggerakkan sistem pelayanan kesehatan menuju praktik yang lebih ramah lingkungan, melalui beberapa cara:

– Mengurangi limbah medis dan menghemat energi di fasilitas kesehatan.

– Mendidik pasien, keluarga, dan rekan kerja tentang pentingnya menjaga lingkungan demi kesehatan yang lebih baik.

– Mengadvokasi kebijakan rumah sakit dan sistem kesehatan yang berkelanjutan.

– Membangun budaya organisasi yang bertanggung jawab terhadap ekologi.

Kesadaran bahwa kesehatan manusia sangat terkait dengan kondisi ekosistem harus menjadi bagian dari praktik keperawatan modern.

Perawat sebagai Agen Perubahan Lingkungan

Perawat bukan hanya tenaga kesehatan yang merawat pasien, tetapi juga penggerak perubahan besar dalam menjaga lingkungan. Tindakan sederhana seperti memilah sampah, mengurangi penggunaan energi, hingga penggunaan alat medis ramah lingkungan dapat berkontribusi besar dalam keberlanjutan.

Lebih jauh lagi, perawat bisa menjadi suara penting dalam advokasi kebijakan kesehatan yang ramah lingkungan. Mereka dapat membangun budaya baru yang sadar lingkungan, baik di rumah sakit maupun di masyarakat. Dengan semangat ini, perawat berperan sebagai penggerak perubahan yang mampu menginspirasi dan memobilisasi banyak pihak untuk peduli pada bumi.

Praktik Keperawatan Berkelanjutan

Transformasi paradigma ekosentris dalam praktik keperawatan harus diwujudkan dalam tindakan nyata. Perawat dapat memulai dari diri sendiri dan lingkungan sekitar, dengan menerapkan prinsip 3R (Reduce, Reuse, Recycle), memilih alat medis yang lebih ramah lingkungan, dan mengurangi konsumsi energi.

Selain itu, perawat juga memiliki peran sebagai pendidik dan pemimpin yang membangun kesadaran masyarakat akan pentingnya menjaga bumi. Namun, keberhasilan gerakan ini memerlukan dukungan kebijakan dan pelatihan berkelanjutan yang menguatkan peran perawat sebagai penjaga lingkungan.

Baca Juga: Burnout di Kalangan Perawat ICU: Antara Tanggung Jawab dan Kesehatan Mental

Melanjutkan Amanat Florence Nightingale

Amanat Nightingale tidak hanya berkaitan dengan kebersihan fisik, tetapi juga mengandung tanggung jawab moral untuk menjaga harmoni antara manusia dan alam. Etika keperawatan masa kini harus memasukkan dimensi lingkungan sebagai bagian tak terpisahkan dari perawatan menyeluruh.

Perawat tidak hanya menjaga kesehatan pasien, tetapi juga menjaga bumi sebagai tempat hidup yang menopang kehidupan itu sendiri. Merawat lingkungan berarti merawat diri kita dan generasi mendatang, yang merupakan amanat moral dan etis bagi profesi keperawatan.

Karena itu, World Environment Day 2025 menjadi momen refleksi dan panggilan tindakan bagi seluruh insan kesehatan, khususnya perawat. Krisis lingkungan adalah krisis kesehatan bersama yang memerlukan tanggapan nyata.

Dengan mengadopsi semangat Florence Nightingale dan paradigma baru yang berfokus pada keberlanjutan lingkungan, perawat dapat menjadi garda terdepan dalam membangun masa depan yang sehat dan berkelanjutan. Merawat bumi adalah merawat hidup yaitu sebuah tanggung jawab kemanusiaan yang harus kita jaga bersama demi anak cucu dan generasi yang akan datang. Dan semua itu harus dimulai dari kita, para perawat.

Referensi:

Badawy, W., Shaban, M., Elsayed, H. H., & Hashim, A. (2025). Eco-conscious nursing: qualitative analysis of nurses’ engagement with environmental sustainability in healthcare. Teaching and Learning in Nursing, 20(2), 137–147. https://doi.org/https://doi.org/10.1016/j.teln.2024.11.019

Crimmins, A., Balbus, J., Gamble, J. L., Beard, C. B., Bell, J. E., Dodgen, D., Eisen, R. J., Fann, N., Hawkins, M. D., Herring, S. C., Jantarasami, L., Mills, D. M., Saha, S., Sarofim, M. C., Trtanj, J., & Ziska, L. (2016). The Impacts of Climate Change on Human Health in the United States: A Scientific Assessment. https://doi.org/10.7930/J0R49NQX

Keraf, sonny. (2014). Filsafat Lingkungan Hidup : Alam sebagai Sebuah Siscem Kehidupan. In S. Keraf (Ed.), Yogyakarta : Kanisius. https://digilib.unisda.ac.id/opac/detail-opac?id=9169

Kilpatrick, M. (2024, May 23). Environmental theory of Florence Nightingale – WSNA. https://www.wsna.org/news/2024/environmental-theory-of-florence-nightingale

Luque-Alcaraz, O. M., Aparicio-Martínez, P., Gomera, A., & Vaquero-Abellán, M. (2024). The environmental awareness of nurses as environmentally sustainable health care leaders: a mixed method analysis. BMC Nursing, 23(1), 1–12. https://doi.org/10.1186/S12912-024-01895-Z/TABLES/3

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *