Mediaperawat.id – Komunikasi asertif merupakan bentuk komunikasi yang mencerminkan keseimbangan antara menghormati hak orang lain dan mempertahankan hak diri sendiri. Ini bukan sekadar cara berbicara, tetapi mencerminkan cara berpikir, bersikap, dan mengambil keputusan dalam relasi profesional. Dalam konteks keperawatan, komunikasi asertif menjadi pondasi penting dalam interaksi antara perawat, pasien, dokter, maupun tenaga kesehatan lainnya.
Sayangnya, komunikasi ini belum sepenuhnya menjadi budaya dalam praktik keperawatan di banyak fasilitas pelayanan kesehatan. Banyak perawat masih merasa sulit untuk menyuarakan pendapat mereka, bahkan ketika hal tersebut berkaitan langsung dengan keselamatan pasien atau hak profesional mereka.
Fakta ini memperlihatkan adanya kesenjangan antara teori dan praktik. Dalam pendidikan keperawatan, komunikasi asertif diperkenalkan sebagai bagian dari kompetensi profesional, namun dalam kenyataannya, tekanan kerja, budaya organisasi, serta relasi kekuasaan yang timpang sering menghambat implementasinya. Perawat kerap berada dalam posisi subordinat, bahkan dalam tim multidisiplin yang seharusnya menjunjung kolaborasi.
Baca Juga: Apa Saja Komponen Komunikasi SBAR? yang Digunakan Perawat untuk Tingkatkan Keselamatan Pasien
Mereka merasa tidak memiliki ruang untuk berbicara secara terbuka, atau lebih buruk lagi, takut akan konsekuensi dari menyatakan pendapatnya. Situasi ini menciptakan iklim kerja yang pasif, di mana perawat lebih memilih diam meskipun menyadari adanya masalah, ketidakadilan, atau kesalahan prosedur.
Beberapa penelitian mengungkapkan bahwa perawat yang memiliki kemampuan komunikasi asertif cenderung lebih percaya diri dalam mengambil keputusan, mengelola konflik, dan membangun hubungan interpersonal yang sehat di tempat kerja. Menurut Kisely et al. (2016), komunikasi asertif berkontribusi langsung terhadap peningkatan kualitas perawatan pasien dan menurunkan angka kejadian kesalahan medis.
Perawat yang dapat mengungkapkan kekhawatiran atau keberatannya secara jelas dan sopan mampu menjadi penjaga keselamatan pasien yang efektif. Rendahnya kesadaran tentang pentingnya komunikasi asertif membuat banyak perawat kehilangan kesempatan untuk mengambil peran tersebut secara optimal. Faktor-faktor yang memengaruhi kurangnya praktik komunikasi asertif di kalangan perawat cukup kompleks.
Pertama, budaya organisasi yang hierarkis seringkali menempatkan perawat dalam posisi rendah. Dalam struktur yang kaku, suara perawat dianggap sebagai pelengkap, bukan kontributor utama dalam pengambilan keputusan.
Kedua, sistem pendidikan keperawatan mungkin belum menekankan pentingnya pelatihan keterampilan komunikasi interpersonal yang menyeluruh, termasuk pelatihan untuk mengatasi rasa takut, kecemasan sosial, dan konflik internal.
Ketiga, beban kerja yang tinggi dan tekanan emosional yang terus-menerus membuat perawat kelelahan secara fisik dan psikis, sehingga enggan terlibat dalam interaksi yang dianggap dapat menambah stres.
Tak jarang pula, norma sosial dan budaya turut memainkan peran besar dalam membentuk sikap perawat terhadap komunikasi. Di banyak masyarakat, perawat terutama perempuan yang dibesarkan dalam budaya yang menekankan kepatuhan, kerendahan hati, dan penghindaran konflik. Ketika mereka memasuki dunia kerja, nilai-nilai tersebut terbawa ke dalam praktik profesional dan menjadi hambatan untuk bersikap asertif.
Penelitian yang dilakukan oleh Timmins dan McCabe (2005) menunjukkan bahwa banyak perawat merasa tidak nyaman menyuarakan pendapat mereka kepada rekan sejawat atau atasan, karena takut dianggap tidak sopan, agresif, atau menentang otoritas. Padahal, komunikasi asertif bukanlah bentuk perlawanan, melainkan ekspresi dari tanggung jawab profesional. Perawat yang mampu menyampaikan pendapat atau ketidaksetujuan secara tepat tidak hanya menjaga integritas profesinya, tetapi juga membantu membangun budaya organisasi yang sehat.
Baca Juga: 7 Teknik Komunikasi Terapeutik Yang Harus Perawat Ketahui
Asertivitas menjadi mekanisme pertahanan terhadap burnout, frustrasi, dan perasaan tidak dihargai. Tanpa asertivitas, perawat akan cenderung memendam emosi, yang pada akhirnya berdampak pada kepuasan kerja dan kualitas pelayanan. Tantangan ini menunjukkan bahwa pelatihan komunikasi asertif harus menjadi bagian integral dari pendidikan dan pengembangan karir perawat.
Program pelatihan tersebut perlu menggabungkan pendekatan teoritis dan praktis, termasuk role-play, refleksi diri, dan pemberian umpan balik. Pelatihan tidak hanya harus membekali perawat dengan keterampilan teknis untuk menyampaikan pesan secara efektif, tetapi juga membantu mereka mengenali nilai-nilai personal dan sosial yang membentuk gaya komunikasi mereka.
Dengan memahami hambatan internal dan eksternal, perawat dapat mengembangkan kepercayaan diri untuk berbicara dengan jujur dan terbuka. Lingkungan kerja yang suportif juga sangat menentukan keberhasilan implementasi komunikasi asertif. Manajemen rumah sakit atau fasilitas kesehatan harus menciptakan budaya yang mendukung dialog terbuka, transparansi, dan penghargaan terhadap semua suara dalam tim.
Salah satu strategi yang dapat diterapkan adalah dengan membangun sistem feedback dua arah yang adil, di mana perawat merasa aman untuk menyampaikan gagasan, kritik, atau masukan tanpa takut dihukum. Selain itu, pemimpin keperawatan perlu menjadi role model dalam menunjukkan sikap asertif yang sehat, yakni yang tidak agresif, tidak pasif, tetapi tegas dan empatik.
Peran organisasi profesi keperawatan juga sangat penting dalam meningkatkan kesadaran dan pelatihan mengenai komunikasi asertif. Organisasi tersebut dapat mengembangkan modul-modul pelatihan khusus, menyelenggarakan seminar, dan menerbitkan panduan praktis bagi anggotanya. Dalam jangka panjang, integrasi keterampilan komunikasi asertif ke dalam standar kompetensi nasional akan memperkuat posisi perawat sebagai tenaga profesional yang memiliki suara dalam sistem kesehatan.
Kesadaran kolektif ini pada akhirnya akan membentuk budaya baru yang lebih menghargai partisipasi aktif perawat dalam proses pelayanan. Penting juga untuk memahami bahwa asertivitas bukan sekadar alat profesional, melainkan bagian dari hak dasar manusia untuk menyatakan pikiran dan perasaannya dengan jujur dan hormat. Dalam sistem kesehatan yang kompleks dan dinamis, kemampuan menyuarakan pendapat secara konstruktif menjadi kebutuhan esensial.
Seorang perawat yang asertif tidak hanya menjaga martabat dirinya, tetapi juga memperjuangkan kepentingan pasien, melindungi standar etika, dan mendukung kerja sama tim yang sehat. Jika komunikasi asertif terus-menerus diabaikan, maka profesi keperawatan akan terjebak dalam pola lama yang stagnan dan pasif. Akan selalu ada risiko bahwa keputusan penting diambil tanpa masukan dari mereka yang paling dekat dengan pasien.
Baca Juga: Burnout di Kalangan Perawat ICU: Antara Tanggung Jawab dan Kesehatan Mental
Akan selalu ada celah dalam sistem karena informasi kritis tidak tersampaikan tepat waktu. Akan selalu ada ketidakpuasan dan rasa lelah yang terpendam karena suara-suara kecil tidak pernah diberi ruang. Namun jika komunikasi asertif mulai dipraktikkan, perlahan namun pasti sistem kesehatan akan berubah menjadi lebih inklusif dan responsif. Komunikasi asertif adalah bentuk keberanian profesional yang dibutuhkan oleh perawat untuk menjawab tantangan zaman.
Ini adalah keterampilan yang dapat dipelajari, dilatih, dan dikembangkan. Dunia keperawatan tidak memerlukan suara yang keras, tetapi suara yang jelassuara yang menyuarakan kebenaran, perawatan yang aman, dan rasa hormat terhadap semua pihak yang terlibat. Suara itu tidak boleh lagi menjadi suara yang terlupakan. Sudah saatnya perawat berbicara, bukan hanya untuk dirinya sendiri, tetapi juga demi pasien dan masa depan sistem pelayanan kesehatan yang lebih manusiawi dan adil.
Referensi
Kisely, S., Campbell, L. A., & Peddle, S. (2016). A systematic review of assertiveness training in health professionals. Medical Education, 50(3), 306-313.Timmins, F., & McCabe, C. (2005).
Nurses’ and midwives’ assertive behaviour in the workplace. Journal of Advanced Nursing, 51(1), 38–45.