Mediaperawat.id – Setiap lima tahun sekali, American Heart Association (AHA) menerbitkan panduan terbaru untuk Cardiopulmonary Resuscitation (CPR) dan Emergency Cardiovascular Care (ECC). Tahun 2025 ini, AHA Kembali merilis AHA Guidelines for CPR and ECC 2025 yang berisi pembaruan berbasis bukti terbaru untuk meningkatkan angka keberhasilan resusitasi.
Kira-kira apa saja yang benar-benar berubah dari panduan sebelumnya dan seberapa penting perawat untuk mengetahuinya? Nah, untuk menjawabnya simak artikel ini sampai selesai yuk!
Highlight Utama AHA Guidelines for CPR and ECC 2025
Highlight Utama AHA Guidelines for CPR and ECC 2025 ada beberapa pembaruan penting yang bisa diangkat untuk pembaca perawat:
- Fokus Baru pada High-Perfomance Resuscitation Team
- Integrasi Teknologi dan Feedback Device dalam CPR
- Pendekatan Individualisasi pada Pasien
- Update pada Resusitasi Pediatrik dan Neonatal
- Penekanan pada Post-Caradiac Arresr Care
Dari “Melakukan” CPR Menjadi “Tim yang Perform”
Salah satu penekanan utama di AHA 2025 adalah konsep High-Perfomance Resuscitation Team. Artinya, keberhasilan CPR bukan hanya tentang siapa yang melakukan kompresi (high quality CPR) saja, tapi tentang bagaimana tim dapat berkomunikasi efektif dan bekerja sama. Setiap anggota tim, termasuk perawat diharapkan:
– Memahami perannya secara jelas sebelum tindakan dimulai.
– Mampu memberi feedback cepat saat kualitas kompresi menurun.
– Dan saling menggantikan dengan efisien agar kualitas kompresi tetap optimal.
Pesan penting yang harus perawat ketahui bahwa perawat bukan sekadar pelaksana CPR, tapi juga sebagai navigator koordinasi tim. Keterampilan komunikasi klinis saat ini menjadi sama pentingnya dengan keterampilan teknis.
Baca Juga: Jadi Perawat Bersuara: Pentingnya Personal Branding dalam Profesi Keperawatan
Teknologi Kini Jadi “Teman” dalam CPR
AHA 2025 merekomendasikan penggunaan feedback devices yaitu alat yang memantau kualitas kompresi seperti kedalaman, kecepatan, dan recoil. Data real-time dari alat ini terbukdi meningkatkan kualitas CPR dan survival rate pasien.
Perawat diharapkan:
– Paham cara membaca indicator kualitas CPR dari perangkat.
– Menyesuaikan kecepatan atau tekanan saat angka tidak optimal.
– Dan siap memimpin penggunaan alat saat tim resusitasi bekerja.
Insight: Di era digital healthcare, CPR bukan lagi soal tenaga, tapi presisi. Ketepatan dan ketelitian dari suatu pengukuran menjadi penting dalam proses CPR di era modern ini.
Clinical Judgement Diutamakan, Bukan Sekadar Algoritma
AHA kini menekankan bahwa Keputusan selama resusitasi harus disesuaikan dengan kondisi pasien. Misal, apakah pasien memiliki penyakit terminal, usia lanjut, atau sedang dalam kondisi paliatif. Artinya, guideline bukan aturan yang kaku, tapi merupakan panduan yang fleksibel.
Di sinilah peran perawat menjadi sentral untuk mengobservasi, menilai respon pasien, dan berkolaborasi dengan dokter untuk menentukan Langkah terbaik. Dalam praktik nyata, empati dan penilaian klinis kadang lebih berarti dari sekadar mengikuti algoritma.
Pembaruan untuk Pasien Pediatrik dan Neonatus
Terdapat perubahan penting pada bagian pediatric and neonatal resuscitation. Beberapa poin baru mencakup:
1. Penyesuaian waktu pemberian dosis epinefrin pada pasien pediatrik
– AHA 2025 masih merekomendasikan pemberian dosis epinefrin: 0.01 mg/kgBB via IV/IO (1:10.000). Namun pembaruan utamanya adalah pemberian epinefrin pertama kali disarankan lebih cepat untuk anak dengan non-shockable rhythm (asystole/PEA). Sebelumnya, penekanan waktu pemberian epifenrin kurang tegas, saat ini guideline AHA 2025 menekankan administrasi sedini mungkin setelah CPR dimulai saat menemukan irama jantung asystole/PEA.
– Untuk bayi baru lahir (neonates) tetap direkomendasikan untuk pemberian epinefrin dilakukan hanya saat setelah ventilasi efektif gagal memulihkan denyut jantung. Fokus utama: pastikan ventilasi terlebih dahulu, lalu pertimbangkan pemberian epinefrin.
2. Ventilasi awal yang lebih terarah pada pasien neonatus
AHA 2025 menekankan ventilasi efektif sebagai kunci keberhasilan resusitasi neonates. Penilaian dini harus berfokus pada efektivitas ventilasi, bukan hanya jumlah napas.
Rekomendasi baru menegaskan pentingnya alat dengan PEEP dan control tekanan untuk mendukung ventilasi yang lembut (gentle ventilation). Untuk bayi baru lahir dengan henti napas primer (asfiksia), ventilation-first approach tetap diprioritaskan dibandingkan dengan kompresi.
3. Rekomendasi baru untuk suhu serta monitoring oksigenasi
– Suhu Tubuh
AHA 2025 menegaskan pencegahan hipotermia sebagai langkah penting pasca resusitasi. Bayi perlu dijaga suhu tubuhnya (36.5 – 37.5 C) sejak menit pertama kelahiran. Gunakan penghangat radian, atau selimut sesuai kondisi.
– Oksigen
Hindari hiperoksia (kelebihan oksigen), karena dapat menyebabkan stress oksidatif dan cedera paru. Berdasarkan penelitian, kadar oksigen yang terlalu tinggi pada neonatus dapat meningkatkan produksi (reactive oxygen species) ROS yang merusak sel dan jaringan paru (Mathias et al., 2021; Bartman et al., 2021). Penggunaan pulse oximetry di tangan kanan (preductal) direkomendasikan untuk pemantauan awal.
Target saturasi oksigen harus disesuaikan berdasarkan usia menit bayi (menggunakan oxygen saturation nomogram). Target saturasi harus realistis dan disesuaikan dengan konteks klinis (tidak selalu mendekati 100% itu ideal). Misalnya, pada neonatus tanpa kondisi spesifik sering direkomendasikan untuk SpO2 sekitar 90-95% untuk menghindari hiperoksia.
Monitoring suhu dan saturasi oksigen perlu dilakukan secara real-time, karena keduanya berpengaruh langsung terhadap keberhasilan resusitasi dan outcome neurologis bayi.
Bagi perawat di ruang anak dan PICU/NICU, hal ini sangat penting diketahui agar tindakan sesuai evidence terbaru. Satu perubahan kecil dalam waktu pemberian obat atau teknik bisa berdampak besar pada outcome pertolongan bayi.
Baca Juga: Perbedaan Perawat yang bekerja di Rumah Sakit dan Rumah Rawat Lanjut Usia di Jerman
Fokus Besar pada Post-Cardiac Arrest Care
Setelah jantung kembali berdetak (Return of Spontaneous Circulation/ROSC), pekerjaan belum selesai. AHA 2025 menyoroti pentingnya pemulihan otak dan stabilisasi organ vital. Perawat ICU/HCU memiliki peran penting dalam:
– Menjaga suhu tubuh pasien agar tidak terlalu tinggi.
– Memantau tanda vital dan perfusi organ.
– Serta melakukan assessment neurologis secara berkala.
Karena, fase ini menentukan apakah pasien dapat pulih dengan fungsi otak yang baik atau tidak? Intinya: resusitasi bukan hanya menyelamatkan detak jantung saja, tapi juga menyelamatkan kualitas hidup setelahnya.
Kenapa Perawat Harus Update?
Karena perawat ada di garis terdepan setiap fase resusitasi, mulai dari mendeteksi henti jantung, memulai CPR, hingga perawatan pasca henti jantung. Guideline baru ini menegaskan bahwa peran perawat semakin strategis dalam keberhasilan CPR modern. Update guideline seperti AHA 2025 bukan hanya untuk dokter atau instruktur ACLS, tapi untuk semua tenaga keperawatan yang ingin:
– Memberikan pelayanan berbasis evidence.
– Meingkatkan kompetensi professional.
– Menjadi bagian dari tim yang menyelamatkan nyawa dengan efektif.
Perubahan pada AHA 2025 menunjukkan arah baru dalam dunia resusitasi yakni dengan fokus utama 🡪 kolaborasi, berbasis data, dan manusiawi. Sebagai perawat, memahami guideline ini bukan hanya soal meningkatkan skill dan kompetensi, tapi tentang komitmen menjaga kualitas hidup pasien di setiap detik kritisnya. Karena dibalik setiap detak jantung yang Kembali, selalu ada tangan-tangan perawat yang sigap, cerdas, dan berani mengambil keputusan.
Referensi
American Heart Association. (2025). Highlights of the 2025 American Heart Association Guidelines for Cardiopulmonary Resuscitation and Emergency Cardiovascular Care. Dallas, TX: American Heart Association.
Bartman, C. M., Awari, D. W., et al. (2021). Intermittent Hypoxia-Hyperoxia and Oxidative Stress in Developing Human Airway Smooth Muscle.
Antioxidants, 10(9), 1400.Mathias, M., Chang, J., Perez, M., & Saugstad, O. (2021). Oxygen Use in Neonatal Care: A Two-edged Sword. Antioxidants, 10(12), 1879.









