banner 728x250

Mengenal Lebih Dekat RUU Omnibus Law Kesehatan

Foto : Freepik.com

MediaPerawat.id – Sejak disahkan RUU  kesehatan muncul berbagai pro dan kontra dengan peraturan undang-undang yang disahkan. Walaupun Cipta Kerja dari omnibus law kesehatan adalah untuk  mensejahterakan kesehatan ummat sebagaimana menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 28 H ayat (1) juga menyatakan bahwa setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan. Namun, terjadi ketidaksesuaian harapan dan keinginan tenaga kesehatan Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI)  dan organisasi profesi kesehatan lainnya (IDI, IBI, PDGI, IAI).

Apa Sih Itu Omnibus Law Kesehatan yang disahkan oleh DPRI dan Presiden RI ?

Omnibus Law kesehatan adalah suatu penetapan peraturan baru kesehatan yang disahkan oleh DPRI dan Presiden RI yang bertujuan untuk memperoleh derajat kesehatan yang maksimal. Adapun peraturan tersebut dapat dievaluasi dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan  yaitu :

1. Pengawasan Tenaga Kesehatan

Dalam Undang-Undang Tenaga Kesehatan diatur bahwa setiap tenaga kesehatan yang menjalankan praktik wajib memiliki Surat Tanda Registrasi (STR), sedangkan salah satu persyaratan untuk mendapatkan Surat Tanda Registrasi (STR) yaitu memiliki sertifikat kompetensi atau sertifikat profesi. Sertifikat kompetensi diterbitkan bagi mahasiswa pendidikan vokasi yang lulus uji kompetensi sedangkan sertifikat profesi diterbitkan bagi mahasiswa pendidikan profesi yang lulus uji kompetensi. Sehingga dirumuskan Dengan demikian perlu dirumuskan STR merupakan dokumen yang dikeluarkan sekali seumur hidup, dan tetap berlaku sepanjang Tenaga Kesehatan masih memenuhi persyaratan kepemilikan STR.

2. Surat Ijin Praktek (SIP)

Dalam Undang-Undang Tenaga Kesehatan diatur tenaga kesehatan dalam menjalankan praktek harus dilakukan sesuai dengan kewenangan yang didasarkan pada kompetensi yang dimilikinya yang berarti bahwa setiap tenaga kesehatan dalam menjalankan praktek harus dilakukan sesuai dengan kewenangan yang didasarkan pada kompetensi yang dimilikinya tidak hanya untuk jenis tertentu saja.

3. Konsil

Undang-Undang Tenaga Kesehatan mengatur untuk meningkatkan mutu Praktik Tenaga Kesehatan serta untuk memberikan pelindungan dan kepastian hukum kepada Tenaga Kesehatan dan masyarakat, dibentuk Konsil Tenaga Kesehatan Indonesia, yang terdiri atas konsil masing-masing Tenaga Kesehatan sehingga Masing-masing konsil Tenaga Kesehatan tersebut di atas, harus dihimpun dalam satu konsil Tenaga Kesehatan Indonesia yang memiliki satu sekretariat dengan tujuan untuk mempermudah koordinasi dan pembinaan konsil agar lebih efektif dan efisien dalam penyelenggaraan dan peningkatan mutu pelayanan Kesehatan.

Baca juga : Tolak Omnibus Law RUU Kesehatan, Ratusan Tenaga Kesehatan Gerudug Gedung DPR-RI

4. Independensi Konsil

jika setiap Tenaga Kesehatan membentuk konsil yang independen dan bertanggung jawab langsung kepada Presiden, seperti halnya Konsil Kedokteran Indonesia (KKI) maka tentunya akan berdampak pada banyaknya penambahan lembaga negara yang tentu saja akan menambah beban anggaran Negara.

5. Kolegium masing-masing Tenaga Kesehatan

Kolegium masing-masing Tenaga Kesehatan adalah wadah untuk berhimpun para pendidik, ketua departemen, ketua program studi, dan dapat dibantu oleh ahli pendidikan, dan guru besar untuk masing-masing cabang disiplin ilmu yang mengampu cabang disiplin ilmu tersebut yang diakui Pemerintah Pusat dan bersifat mandiri.

6. Tenaga Medis sebagai Bagian dari Kelompok Tenaga Kesehatan

dalam Pasal 11 Undang-Undang Tenaga Kesehatan Tenaga Medis masuk dalam kelompok Tenaga Kesehatan. Mengacu pada Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 82/PUU-XII/2015, ketentuan mengenai pencantuman tenaga medis sebagai salah satu kelompok tenaga kesehatan telah dibatalkan, sehingga tenaga medis tidak lagi termasuk dalam kelompok tenaga kesehatan.

7. Jenis Tenaga Kefarmasian

Undang-Undang Tenaga Kesehatan mengatur kelompok Tenaga Kefarmasian terdiri atas jenis apoteker dan tenaga teknis kefarmasian. Hal ini menjadi kurang tepat karena dalam tenaga teknis kefarmasian sendiri terdiri atas 3 (tiga) jenis yaitu ahli madya farmasi, sarjana farmasi, dan analis farmasi. Hal tersebut dapat menimbulkan tafsiran bahwa dalam jenis terdapat subjenis.

8. Pengklasifikasian Tenaga Kesehatan Tradisional

Klasifikasi Tenaga Kesehatan Tradisional sebagaimana tercantum dalam Pasal 11 ayat 13 Undang-Undang Kesehatan menjadi tenaga kesehatan tradisional jamu, tenaga kesehatan tradisional interkontinental, dan pengobatan tradisional. Hal ini dikarenakan dalam pengobatan tradisional, ramuan dan keterampilan merupakan metode yang dapat digunakan secara sendiri-sendiri maupun kombinasi.

9. Prosedur Penetapan Tenaga Kesehatan Jenis Baru.

Berdasarkan Pasal 12 menyebutkan bahwa untuk memenuhi perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di bidang kesehatan, Menteri dapat menetapkan jenis Tenaga Kesehatan lain dalam setiap kelompok.

Sedangkan dalam penambahan Pasal 2 ditegaskan bahwa perlu dilakukan penegasan bahwa dalam menetapkan jenis baru harus didasarkan pada kajian dengan melihat kebutuhan pelayanan kesehatan dan aspek pendidikan

10. Perencanaan Tenaga Kesehatan berdasarkan Tipologi Penyakit

Undang-Undang Tenaga Kesehatan mengatur Menteri Kesehatan   dalam Menyusun perencanaan Tenaga Kesehatan harus memperhatikan faktor jenis, kualifikasi, jumlah, pengadaan, dan distribusi        Tenaga Kesehatan, penyelenggaraan Upaya Kesehatan, ketersediaan Fasilitas Pelayanan Kesehatan, kemampuan pembiayaan, kondisi geografis dan sosial budaya; dan kebutuhan masyarakat. Hal tersebut perlu disempurnakan dengan merumuskan perencanaan dilakukan berdasarkan tipologi penyakit di daerah untuk mendukung distribusi tenaga kesehatan berdasarkan kasus atau penyakit yang secara spesifik terjadi pada daerah yang belum tentu sama.

11. Menghapuskan Izin Pendidikan Tinggi

Pengaturan mengenai izin pendidikan tinggi lebih lanjut telah diatur dalam Pasal 12 ayat 3 dan ayat 4 Peraturan Pemerintah Nomor 67 Tahun 2019 tentang Tenaga Kesehatan. Dalam mekanisme tersebut untuk pemberian izin tidak lagi dibutuhkan rekomendasi dari Menteri Kesehatan, melainkan akan dibentuk tim dengan keanggotaannya melibatkan Kemendikbud Ristek dan Kemenkes untuk melakukan penilaian Bersama. Pemisahan kewenangan ini akan memperjelas tugas dan fungsi instansi dalam bidang pendidikan maupun dalam bidang kesehatan.

12. Percepatan Distribusi Tenaga Kesehatan

Dalam hal pelayanan kesehatan primer dan pelayanan rujukan sebagai upaya penguatan tata kelola manajemen, pelayanan esensial, rujukan, dan pelayanan spesialistik. Dalam hal pelayanan kesehatan primer dan pelayanan rujukan sebagai upaya penguatan tata kelola manajemen, pelayanan esensial, rujukan, dan pelayanan spesialistik

13. Pengaturan Registrasi Ulang Tenaga Kesehatan

Selama ini ketentuan registrasi ulang Tenaga Kesehatan yang mengacu pada Pasal 44 Undang-Undang Tenaga Kesehatan mengharuskan memiliki Sertifikat Kompetensi atau Sertifikat Profesi serta dengan membuat pernyataan mematuhi dan melaksanakan ketentuan etika profesi.

Ketentuan registrasi ulang diusulkan dihapus karena STR yang diberikan kepada Tenaga Kesehatan akan berlaku sekali seumur hidup.

14. Rekomendasi Organisasi Profesi dalam Penerbitan Surat Izin Praktik

Pasal 46 ayat (4) huruf b Undang-Undang Kesehatan, mengenai syarat mendapatkan SIP yang mengharuskan mendapatkan rekomendasi dari Organisasi Profesi sudah tidak sejalan dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tersebut. Pada prinsipnya rekomendasi bersifat pertimbangan, sehingga memasukkan rekomendasi Organisasi Profesi sebagai salah satu syarat penerbitan Surat Izin Praktik menjadi tidak tepat. Keputusan penerbitan Surat Izin Praktik seharusnya tetap berada di Pemerintah Daerah tanpa mempersyaratkan ada tidaknya rekomendasi Organisasi Profesi.

15.  Pembinaan Praktik Tenaga Kesehatan

Pada dasarnya Pembinaan terhadap praktik tenaga kesehatan merupakan kewenangan Pemerintah dan Pemerintah Daerah dalam rangka menjamin keselamatan masyarakat dari potensi terjadinya malpraktik. Pembinaan tersebut dilakukan bersama dengan konsil masing-masing Tenaga Kesehatan.

16.  Proses Evaluasi Kompetensi

Proses evaluasi kompetensi melalui institusi pendidikan selama ini berjalan lambat dan terjadi antrian untuk masuk ke Fakultas Kedokteran atau Fakultas Kedokteran Gigi, sehingga perlu dilakukan kemudahan dan percepatan untuk proses evaluasi kompetensi mengingat masih kurang dan belum meratanya distribusi tenaga kesehatan.

17.  Pengembangan Penguatan Ekosistem Teknologi Kesehatan

Dalam praktik tenaga kesehatan belum diatur mengenai pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi, sehingga perlu adanya pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi dalam praktik tenaga kesehatan.

18.  Alternatif Penyelesaian Sengketa Kesehatan

Sebagaimana yang diatur dalam Pasal 78 Undang-Undang Kesehatan sebelumnya diatur bahwa dalam hal Tenaga Kesehatan diduga melakukan kelalaian dalam menjalankan profesinya yang menyebabkan kerugian kepada penerima pelayanan kesehatan, perselisihan yang timbul akibat kelalaian tersebut harus diselesaikan terlebih dahulu melalui penyelesaian sengketa di luar pengadilan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Ketentuan mengenai hukum acara dalam proses penyelesaian sengketa di luar pengadilan tersebut, dikenal dengan istilah alternatif penyelesaian sengketa (alternative dispute resolution), yang mengacu pada Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Selain itu, pengaturan mengenai alternatif penyelesaian sengketa juga mengacu pada Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2016 tentang Mediasi.

19.  Pelimpahan Wewenang

Sejalan dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Kebidanan dijelaskan terkait pelimpahan wewenang bahwa tenaga kesehatan dapat menerima pelimpahan wewenang untuk melakukan pelayanan kesehatan dengan kewajiban mempertanggungjawabkan kepada pemberi pelimpahan wewenang.

Apa saja sih kelebihan dari RUU Omnibus Law?

  1. Rancangan Undang-Undang Kesehatan Omnibus Law (RUU Kesehatan) justru bakal memudahkan masyarakat dalam berobat dan calon dokter spesialis dalam menempuh pendidikan.
  2. RUU Kesehatan juga mengatur dan membuka peluang kepada siapapun untuk bisa menempuh pendidikan menjadi dokter umum dan dokter spesialis, tanpa melihat latar belakang keluarga atau kondisi ekonomi sang calon.
  3. Banyaknya jumlah dokter, terutama spesialis, akan memperpendek antrian pasien di rumah sakit. Biaya masyarakat berobat ke dokter akan lebih murah karena pungli-pungli yang membebani dokter akan hilang
  4. Pembuatan STR sekali seumur hidup menjadi suatu kemudahan dalam pembuatan STR

Lalu apa saja kekurangannya ?

  1. Pendidikan kedokteran untuk menciptakan tenaga kesehatan murah bagi industri kesehatan sejalan dengan masifnya investasi.
  2. Syarat kriminalisasi terhadap tenaga kesehatan dengan dimasukkan pidana penjara dan dinaikkan hingga tiga kali lipat.
  3. RUU omnibus law kesehatan mengancam keselamatan rakyat atas pelayanan kesehatan yang bermutu dan dilayani oleh tenaga kesehatan.
  4. RUU omnibus law kesehatan mempermudah mendatangkan tenaga kesehatan asing berpotensi mengancam keselamatan pasien.
  5. RUU omnibus law kesehatan berpihak pada investor dengan mengabaikan hak-hak tenaga medis dan tenaga kesehatan akan perlindungan dan keselamatan pasien.
  6. RUU omnibus law mengancam ketahanan bangsa serta mengebiri peran organisasi yang telah hadir untuk rakyat.
  7. Pelemahan peran dan independensi konsil kedokteran Indonesia dan konsil dan tenaga kesehatan Indonesia dengan berada dan bertanggung jawab kepada materi (bukan presiden lagi).
  8. Masih belum terwujudnya pemerataan tenaga kesehatan melalui penguatan kewenangan Pemerintah dalam redistribusi tenaga Kesehatan
  9. Terbentuknya aturan STR sekali seumur hidup dapat menipisnya skill dan knowledge tenaga kesehatan dalam kompetensinya.
  10. RUU omnibus law kesehatan mengabaikan kewajiban kesehatan jaminan yang bermutu bagi masyarakat.

Daftar Referensi :

Anna Kurniati dan Ferry Efendi. 2012. Kajian SDM Kesehatan di Indonesia. Jakarta: Salemba Medika.

Nita Ariyulinda. Analisis Yuridis Pengaturan Konsil Kebidanan Dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2019 Tentang Kebidanan Dikaitkan Dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2014 Tentang Tenaga Kesehatan Dan Peraturan Presiden Nomor 90 Tahun 2017 Tentang Konsil Tenaga Kesehatan Indonesia. Jurnal Legislasi Indonesia, Vol.16. Jakarta : Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-Undangan KemenkumHAM RI.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *