Pasien sakit kritis, khususnya yang mendapatkan ventilasi mekanik, seringkali mengalami nyeri, kecemasan, sesak napas dan bentuk lainnya dari stres (1). Prinsip utama dari perawatan di ruang rawat intensif (ICU) adalah memberikan rasa nyaman sehingga pasien dapat mentoleransi lingkungan ICU yang tidak bersahabat. Hal ini dapat dilakukan dengan mengidentifikasi dan mengatasi penyakit dasar dan faktor pencetus, menggunakan metode non farmakologi untuk meningkatkan rasa nyaman dan pemberian terapi sedasi dan analgesia sesuai dengan konsep kerja (2).
Pada umumnya, lingkungan ruang rawat intensif (ICU) dapat menimbulkan rasa takut dan stres terhadap pasien. Agitasi dapat terjadi pada 71% pasien di ICU. Kebanyakan dari pasien yang dirawat di ICU, tidak dapat mengkomunikasikan apa yang mereka rasakan dan butuhkan. Prosedur -prosedur seperti intubasi endotrakhea, ventilasi mekanik, suction dan fisioterapi tidak dapat ditoleransi tanpa pemberian sedasi yang adekuat. Akan tetapi, pemberian sedasi yang terus menerus dapat memperpanjang lama penggunaan ventilasi mekanik dan perawatan di ICU (3).
Pada penelitian yang dilakukan oleh Fraser dkk pada tahun 2000 umumnya, lingkungan ruang rawat intensif (ICU) dapat menimbulkan rasa takut dan stres terhadap pasien, dimana agitasi dapat dapat terjadi pada 71% pasien di ICU (3). Sedasi adalah penurunan iritabilitas atau hilangnya agitasi yang dilakukan melalui pemberian obat sedatif, pada umumnya untuk mendukung prosedur medis atau prosedur diagnostik. Sedangkan agitasi merupakan derajat keterjagaan yang bertolak belakang dari sedasi-agitasi. Panduan pemberian sedasi merekomendasikan dilakukannya pemantauan dari tingkat sedasi. Evaluasi tingkat sedasi dapat mengurangi waktu penggunaan ventilasi mekanik sebanyak 50%. Metode pemantauan tingkat sedasi diantaranya sistem skoring, elektroensefalogram, bispectral index, auditory index, auditory evoked potential (4).
Saat ini terdapat beberapa sistem skoring yang dapat digunakan untuk pemantauan tingkat sedasi, akan tetapi tidak ada sistem yang dijadikan acuan utama. Setiap sistem akan mengevaluasi kesadaran pertama kali dari respon spontan terhadap pemeriksa, kemudian jika dibutuhkan pemeriksaan respons terhadap rangsangan eksternal, berupa suara atau sentuhan, secara bertahap. Skor sedasi tidak dapat digunakan untuk pasien yang tidak sadar atau mendapatkan pelumpuh otot (5).
Ramsay Sedation Assesment Scale (RSAS)
Dipublikasikan pertama kali oleh Ramsay et al tahun 1974 untuk mengukur tingkat sedasi dan masih digunakan secara luas hingga sekarang. Skala terdiri dari 6 tingkatan yaitu : skala 1 berarti cemas, agitasi dan tidak tenang, skala 2 kooperatif dan orientasi baik, skala 3 respon terhadap perintah verbal (menunjukkan sedasi ringan hingga sedang), skala 4 hingga 6 mulai menunjukkan tingkat sedasi dalam yaitu respon cepat terhadap rangsangan fisik (skala 4), respon lambat (skala 5), dan tidak ada respon atau tidur dalam (skala 6). Bertumpu pada perubahan tanda vital sebagai indikator utama nyeri dapat mengecoh karena perubahan ini juga ditujukan untuk mendasari kondisi patofisiologis, perubahan homeostatik dan obat-obatan. Tidak adanyapeningkatan tanda vital bukan berarti tidak adanya rasa nyeri. Berikut tabel Ramsay Sedation Assessment Scale (RSAS) (6)
Riker Sedation Agitation Scale (SAS)
Skala ini lebih digunakan untuk mengukur agitasi terdiri dari 7 tingkatan yaitu skala 1-3 merupakan tingkat sedasi, skala 4 berarti kooperatif dan skala 5-7 menunjukkan tingkat agitasi. Berikut tabel Riker Sedation Agitation Scale.
Richmond Agitation – Sedation Scale (RASS)
RASS terdiri dari poin skala terdiri dari skala agitasi (+1 sampai +4) dan kesadaran (skala -1 sampai -5) serta skala o untuk sadar baik. Sedasi dalam diukur dengan 2 tahap yaitu tes respon terhadap instruksi verbal seperti buka mata dan diikuti tes respon kognitif seperti penderita dapat fokus melihat mata pemberi perintah. Skala pengukuran tersebut memiliki korelasi yang baik dengan proses elektroensefalografi, sama baiknya dengan akselerasi dan gerakan ekstremitas. Berikut tabel Richmond Agitation – Sedation Scale (RASS).
Prosedur Peenilaian RASS
- Lakukan pengamatan perilaku penderita (untuk memberikan nilai +4 hingga sesuai dengan skala RASS) ;
- Bila penderita terlihat sangat melawan, berikan nilai +4
- Bila terlihat agresif, berikan nilai +3
- Bila melakukan gerakan tidak bertujuan, berikan nilai +2
- Bila terlihat gelisah tapi tidak agresif, berikan nilai +1
- Bila terlihat tenang dan terjaga, berikan nilai 0
2. Dilanjutkan (jika perlu) dengan penilaian respon verbal dengan cara memanggil penderita ;
- Penderita terbangun dengan mata membuka >10 detik, dan menatapi yang bicara (nilai -1)
- Penderita terbangun, membuka mata dan menatap yang bicara tak bertahan lama <10 detik (nilai -2)
- Penderita bergerak merespons terhadap stimulus suara tetapi tanpa kontak mata (nilai -3)
3. Dilanjutkan dengan penilaian respon terhadap stimulus fisik (jika tidak ada respon terhadap stimulasi verbal) seperti menggoyang bahu atau menekan sternum jika tidak ada respon terhadap mengguncang bahu ;
- Penderita bergerak merespons stimulai fisik (skor -4)
- Penderita tidak respons terhadap stimulus apapun (skor -5)
Referensi
- Rathmell.P.James. Bonica’s Management of Pain. Pain management in the intensive care unit. Lippincott Williams 2012;112:1590–01.
- Sessler CN, Wilhem W. Analgesia and sedation in the intensive care unit: an overview of the issues Crit Care. 2008; 12(Suppl 3): S1.
- Young J. Sedation. Dalam: Core topics in critical care medicine. New York: Cambridge university press; 2010:77–88
- Peitz J Gregory, Olsen M Keith. Top 10 Myths Regarding Sedation and Delirium in the ICU. J Critical Care Medicine 2013.
- Riesen.R, Pech. R. Comparison of the ramsay score and the richmond agitation sedation score for the measurement of sedation depth. Crit Care 2012.
- Basbaum AI, Bautista DM, Scherrer G, Julius D. Cellular and Molecular Mechanisms of Pain. Cell. 2009.
(DOC/TM)