Pengertian
ADHD adalah istilah populer, kependekan dari Attention Deficit Hyperactivity Disorder, (Attention = perhatian, Deficit = berkurang, Hiperactivity = hiperaktif, dan Disorder = gangguan). Dalam bahasa Indonesia, ADHD berarti gangguan pemusatan perhatian disertai hiperaktif (Baihaqi & Sugiarmin, 2006).
ADHD atau gangguan pemusatan perhatian/hiperaktivitas ialah suatu sindrom yang timbul pada anak dengan pola gejala restlessatau tidak bisa diam (hyperactivity), tidak dapat memusatkan perhatian (inattention), semaunya sendiri (implusive ) dan perilaku penghambat atau distruktif; yang dapat menyebabkan ketidakseimbangan sebagian besar aktivitas hidup mereka yang secara umum dapat mengganggu proses belajar disekolah dan prestasi akademiknya (Saputro, 2009; Semiawan & Mangunsong, 2010; Fanu, 2006, Sugiarmin & Baihaqi, 2006).Selain itu beberapa karakteristik yang nampak pada anak ADHD seperti: seorang anak yang tidak pernah duduk tenang didalam kelas, dia selalu bergerak misalnya; mengetuk-ngetukan jari, menggoyang-goyangkan kaki dst; selain itu, apabila sepanjang hari anak terlalu lelah, merasa tertekan, maka ia kesulitan melakukan fungsi perhatian yang menyebabkan terjadi adanya mengalami day dreaming episodesatau bisa disebut bengong;atau anak yang selalu bosan dengan tugas yang dihadapi dan selalu bergerak ke hal lain, adalah bentuk perilaku umum lainnya yang menjadi ciri khas dari ADHD (Davison,Neal, & Kring,2006)
Gangguan pemusatan perhatian dan hiperaktif yang sering disebut sebagai Attention Deficit Hyperactive Disorder(ADHD) yaitu suatu sindrom neuropsikiatrik yang akhir-akhir ini banyak ditemukan pada anak-anak, biasanya disertai dengan gejala hiperaktif dan tingkah laku yang implusif.Menurut DSM-IV-TR ADHD ini ditandai denganadanya ketidak mampuan anak dalam memberikan perhatiannya pada sesuatu yang dihadapi secara utuh, disamping itu anak ADHD mudah sekali beralih perhatiannya dari suatu aktivitas ke aktivitas yang lain. Sehingga rentang perhatiannya sangat singkat waktunya dibandingkan anak-anak lain seusianya.
Baca Juga : Metode Bobath untuk Saraf
Gejala kurang konsentrasi yang terjadi pada anak ADHD dapat mengganggu masa perkembangan anak dalam hal kognitif, perilaku, sosialisasi maupun komunikasi. Beberapa perilaku yang nampak seperti; cenderung bertindak ceroboh, mudah tersinggung, lupa pelajaran sekolah dan tugas rumah, kesulitan mengerjakan tugas disekolah maupun dirumah, kesulitan dalam menyimak, kesulitan dalam menjalankan beberapa perintah, melamun, sering keceplosan dalam berbicara, tidak memiliki kesabaran yang tinggi, sering membuat gaduh, berbelit-belit dalam berbicara, dan suka memotong serta ikut campur pembicaraan orang lain adalah bentuk perilaku umum lainnya yang menjadi ciri khas ADHD. Selain itu mereka juga cenderung bergerak terus secara konstan dan tidak bisa tenang. Akibatnya, mereka sering kesulitan untuk belajar disekolah, mendengar dan mengikuti instruksi orangtua dan bersosialisasi dengan teman sebayanya (Flanagen, 2005;Fanu, 2006). Kekurangan utama yang dialami anak ADHD merupakan hambatan yang mencolok antara diri mereka sendiri dan akibat yang menyertai dalam kehidupannya. Hal ini menyoroti permasalahan anak ADHD yang selalu dianggap tidak kooperatif dan sangat nakal. Anak ADHD tidak memberi respon ketika diberi pengarahan dengan carayang sama seperti anak lain, dikarenakan kurangnya kemampuan mereka dalam berkonsentrasi dan dalam menyikapi tugas ataupun beraktifitas (Baihaqi & Sugiarmin, 2006).
Menurut Judarwanto (2006) anak ADHD umumnya memiliki kemampuan konsentrasi yang rendah yaitu ketidakmampuan untuk mempertahankan perhatian terhadap suatu kegiatan. Kurang konsentrasi sendiri memiliki pengertian tidak mampu mempertahankan perhatian sehingga rentang perhatiannya sangat singkat. Dalam DSM-IV-TR (2005) dijelaskan bahwa anak yang mengalami gangguan ADHD mempunyai ciri-ciri sering gagal dalam memberi perhatian secara erat terhadap suatu kegiatan dan mengalami kesulitan dalam menjaga perhatian atau konsentrasi dalam menerima tugas dan kegiatan bermain.
Epidemiologi
Prevalensi ADHD di Amerika pada kalangan anak adalah sekitar 5%, dan 2,5% pada kalangan dewasa. Rasiolaki-laki dibanding perempuan adalah 2:1. Anak perempuan menunjukkan lebih sedikit gejala disruptif, namun lebih banyak menunjukkan gejala inatensi, serta cemas dan depresi. Sedangkan anak laki-laki lebih banyak menunjukkan perilaku disruptif (Andrés Martinet al., 2018). Tinjauan sistematik terhadap 102 penelitianyang meliputi 171.756 subyek ditemukan prevalensi ADHD di seluruh dunia adalah 5,29%. Kelompok usia anak ditemukan prevalensi 6,5%, dan 2,7% untuk kelompok usia remaja (Sayalet al., 2018). Variasi prevalensi pada beberapa studi bisa disebabkan karena perbedaan kriteria diagnostik dan metode penelitian yang digunakan (Sayal et al., 2018).
Baca juga : Mengenal Sistem Sirkulasi Aliran Darah (Cardiac Output, Curah Jantung, MAP dan Pulse Pressure)
Prevalensi anak dengan ADHD di Indonesia masih belum banyak yang mengkaji. Penelitian pada sekolah dasar di Kabupaten Sleman Yogyakarta pada tahun 2000 menunjukkan prevalensi ADHD 9,5%, dan padasebuah penelitian terbatas yang dilakukan tahun 2009 menyebutkan 2,9% sampel dewasa mempunyai gejala sisa ADHD dengan rasio laki-laki dua kali lebih banyak dibandingkan perempuan (Saputro D., 2012). Data jumlah pasien baru anak dengan GSA di Unit Rawat Jalan Jiwa Anak Day Care RSUD dr. Soetomo Surabaya tahun 2017 adalah 32 anak, meningkat dibanding jumlah pasien baru pada tahun 2016 sejumlah 29 anak.
Etiologi
Etiologi dari ADHD memang belum jelas diketahui. Faktor neurobiologi diduga salah satu faktor yang cukup kuat untuk timbulnya gangguan ini. Pemaparan zat toksik prenatal, prematuritas, dan mekanisme kelahiran yang mengganggu sistem saraf diperkirakan berhubungan dengan gangguan ini (Franke et al., 2017).
Faktor psikososial juga diduga memiliki peran pada ADHD. Beberapa faktor yang diduga berhubungan atau sebagai penyebab ADHD antara lain Faktor Genetik, riset yang dilakukan pada anak kembar dan anak adopsi, menunjukkan tingkat heritabilitas antara 60%-90% (Faraoneand Larsson, 2018). Genetik berpengaruh 76% terhadap kejadian GPPH pada anak dan gen spesifik yang berhubungan dengan GPPH yaitu gen transporter dopamin (DAT1) pada khromosom 5 dan gen D4 reseptor dopamin (DRD4) pada khromosom 11 (Li et al., 2014). Beberapa regio kromosom yang sering terlibat dalam manifestasi klinis ADHD antara lain kromosom 5p12, 10q26, 12q23, 16p13, 15q15, 7p13, 9q33, 8q12, 11q23, 4q13,17p11, 12q23, dan 8p23 (Andrés Martin et al., 2018). 2)Faktor Lingkungan, antara lain adanya riwayat merokok, penggunaan alkohol, penggunaan obat-obatan atau anemia selama kehamilan, dan kelahiran anak yang prematur (Waldie et al., 2017), zat aditif pada makanan (Schneider-Momm et al., 2018), serta intoksikasi logam berat timbal (Daneshparvar et al., 2016).
Manifestasi Klinis
Diagnostic & Statistical Manual of Mental Disorder 5 th edition (2013) dari American Psychiatric Association, menyebutkan ciri penting dari ADHD adalah pola persisten dari kurangnya perhatian dan atau hiperaktivitas serta impulsivitas yang mengganggu fungsi atau perkembangan.
Diagnosis ADHD didasarkan pada riwayat klinis yang bisa didapatkan dari wawancara dengan pasien dan orangtua serta informasi dari guru. Diagnosis ADHD menurut DSM-5, sesuai dengan kriteria di bawah ini:
- Setidaknya ditemukan 6 dari 9 gejala dan atau 6 dari 9 gejala hiperaktivitas dan impulsivitas. Untuk usia 17tahun atau lebih, cukup ditemukan 5 dari masing masing gejala.
- Beberapa gejala inatensi dan hiperaktif-impulsif muncul sebelum usia 12 tahun
- Gejala tersebut muncul pada minimal dua setting tempat yang berbeda (misal di rumah dan di sekolah
- Didapatkan bukti bahwa gejala tersebut berpengaruh menurunkan kualitas fungsi sosial, akademis danpekerjaan
- Gejala tersebut bukan merupakan gejala dari gangguan jiwa yang lainManifestasi klinis gejala-gejala tersebut dapat merupakan predominan inatentif, predominan hiperaktif-impulsif, atau kombinasi dari keduanya. Berdasarkan fungsi sosial individu dengan ADHD, dapat dikelompokkan menjadi ringan sedang dan berat (APA, 2013)
Penanganan
Fokus utama tatalaksana ADHD adalah perbaikan atensi, dan mengurangi perilaku disruptif yang sering menyertai(Andrés Martin et al., 2018). Secara garis besar, tatalaksananya meliputi terapi farmakologis (stimulansia, yakni metilfenidat dan amfetamin, serta penghambat reuptake NE selektif seperti atomoxetin),dan non farmakologis seperti terapi perilaku, CBT, Neurofeedback, dan lain-lain.
Daftar Referensi
Andrés Martin, E. et al.(2018) LEWIS’S CHILD AND ADOLESCENT PSYCHIATRY AComprehensive Textbook FIFTH EDITION.APA (2013) DSM-5. 5th edn. Washington DC: American Psycjiatric Publishing.
Cortese, S. and Coghill, D. (2018) ‘Twenty years of research on attention-deficit / hyperactivity disorder (ADHD): looking back, looking forward’, Evidence Based Mental Health, pp. 1–4.
Daneshparvar, M. et al.(2016) ‘The Role of Lead Exposure on Attention-Deficit/ Hyperactivity Disorder in Children: A Systematic Review.’, Iranian journal of psychiatry, 11(1), pp. 1–14. Dark, C., Homman-ludiye, J. and Bryson-richardson, R. J. (2018) ‘The Role of ADHD Associated Genes in Neurodevelopmen’, Developmental Biology. Elsevier Inc.
Hatiningsih, N. (2013). Play therapy untuk meningkatkan konsentrasi pada anak attention deficit hyperactive disorder (ADHD). Jurnal ilmiah psikologi terapan, 1(2), 324-342.
NH, F. A., & Setiawati, Y. (2017). Interaksi Faktor Genetik dan Lingkungan pada Attention Deficit/Hyperactivity Disorder (ADHD). Jurnal Psikiatri Surabaya, 6(2), 98-107.
Van Doren, J. et al.(2018) ‘Sustained effects of neurofeedback in ADHD: a systematic review and meta-analysis’, European Child and Adolescent Psychiatry. Springer Berlin Heidelberg, (0123456789), pp. 1–13Faraone,