banner 728x250

Kenali Code Blue dan Early Warning System (EWS) di Rumah Sakit

Foto : Freepik.com Code Blue

MediaPerawat.id Code blue adalah kode biru yang digunakan untuk pasien dengan kondisi darurat medis dengan kasus henti jantung atau tidak bernafas. Ketika diumumkan, tim khusus yang sudah ditugaskan akan bergegas menuju kamar pasien. Pertolongan pertama akan langsung diberikan sembari menunggu lebih banyak bantuan. (Monangi,2018).

Penilaian dan Tujuan Code blue

EWS (Early Warning System)

Early warning system adalah sebuah sistem skoring fisiologis yang umumnya digunakan di unit medikal bedah sebelum pasien mengalami kondisi kegawatan. Skoring EWS disertai dengan algoritme tindakan berdasarkan hasil skoring dari pengkajian pasien. Parameter dalam metode EWS yaitu tingkat kesadaran, respirasi atau pernafasan, saturasi oksigen, oksigen tambahan, suhu, denyut nadi, dan tekanan darah sistolik (Duncan & McMullan, 2012).

Sistem peringatan dini di rumah sakit berupa rangkaian sistem komunikasi informasi, dimulai dari deteksi awal, dilanjutkan dengan pengambilan keputusan untuk penanganan berikutnya. Penilaian pada sistem peringatan dini ini menggunakan skor yang disebut Early Warning Score. EWS yang umumnya digunakan adalah National Early Warning System (NEWS). NEWS adalah sistem penilaian kumulatif yang menstandarkan penilaian tingkat keparahan penyakit akut yang dikembangkan pertama kali pada tahun 2012. Alat sederhana yang saat ini sudah digunakan hampir di seluruh rumah sakit, yang penilaian skoringnya dihitung dari tanda-tanda vital pasien.

Manfaat EWS yakni :

  1. Sistem EWS untuk deteksi dini penyakit akut dengan mengukur parameter fisiologis spesifik dengan format standar
  2. Sistem penilaian standar untuk menentukan tingkat keparahan penyakit untuk mendukung pengambilan keputusan klinis yang konsisten dan respons klinis yang tepat
  3. Standardisasi pelatihan dalam pendeteksian penyakit akut dan manajemen pasien yang mengalami penurunan secara klinis
  4. Adopsi sistem penilaian standar di seluruh rumah sakit, tidak hanya dalam konteks perburukan klinis akut tetapi juga untuk pemantauan terus-menerus dari semua pasien.

Baca juga : Prosedur Khusus Triase dalam Kegawatdaruratan

Mengingat pentingnya mengenali kegawatan secara dini telah dikembangkan sistem deteksi dini (Early Warning System) dan resusitasi yang optimal (aktivasi code blue) yang terintegrasi dalam rantai keselamatan pasien “Chain of survival”

Ket Foto : EWS Code Blue/dosen.usg.ac.id

Standar Prosedur Operasional Untuk Pelaksanaan EWS  Yaitu :

  • 1. Nilai Score EWS pasien pada assesmen awal dengan kondisi
  • penyulit akut dan pemantauan secara berkala pada semua
  • pasien resiko tinggi yang akan berkembang menjadi kritis
  • 2. Pemantauan rutin pada semua pasien, minimal 1 kali dalam
  • selama berada di rumah sakit.
  • satu shift dinas perawat.
  • 3. Ukur score EWS sesuai dengan parameter
  • 4. Laporkan skor EWS ke dokter DPJP sesuai skor
  • 5. Dokumentasikan hasil perhitungan EWS
  • 6. Parameter Early Warning System

Adapun prosedur pengkajian EWS sebagai berikut:

  1. Perawat melakukan pengkajian EWS pada semua pasien IGD dan rawat inap didokumentasikan pada form EWS.
  2. Perawat menulis tanggal dan jam pengkajian EWS.
  3. Hasil yang telah didapat di nilai sesuai dengan skor yang telah ditetapkan.
  4. Tuliskan hasil yang didapat untuk parameter frekuensi nafas, saturasi oksigen, suhu, tekanan darah sistolik dan denyut jantung.
  5. Untuk parameter alat bantu nafas, jika pasien menggunakan alat bantu nafas ditulis “ya” dan diberi skor 2, jika tidak memiliki alat bantu ditulis “tidak” dan diberi skor 0.
  6. Untuk parameter kesadaran digunakan metode AVPU, pasien sadar (Awakeness) diberi skor 0. Jika pasien mengalami penurunan kesadaran dan harus menggunakan rangsangan suara (Verbal) atau nyeri (Pain). Jika pasien sama sekali tidak sadar (Unresponsive) diberi skor 3.

Pemantauan EWS disertai dengan tatalaksana tindakan berdasarkan hasil skoring pengkajian pasien akan mampu mendukung kemampuan perawat dalam mengenali dan mengintervensi secara tepat waktu dalam mengatasi tanda-tanda perburukan kondisi pasien. Dengan adanya EWS akan mampu mendukung perawat untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilan. EWS juga dapat digunakan pada pasien dewasa maupun pasien anak (bayi sampai dengan remaja) dengan memasukkan anatomi dan fisiologi anak-anak kedalam alat EWS tersebut.

Ket Foto : Parameter Fisiologis National Early Warning Score (NEWS)/www.pjnhk.go.id

Apa Tujuan Dari Code Blue ?

Tujuan dari sistem code blue adalah:

  • Memberikan resusitasi dan stabilisasi yang cepat bagi korban yang mengalami kondisi darurat henti jantung yang berada dalam situasi rumah sakit
    •  Membentuk suatu tim yang terlatih lengkap dengan perlatan medis darurat yang dapat digunakan dengan cepat. 3. Memulai pelatihan keterampilan BLS dan penggunaan defibrillator eksternal otomatis (AED) untuk semua tim rumah sakit baik yang berbasis klinis maupun non klinis. 4. Penempatan peralatan BLS di berbagai lokasi strategis di dalam kawasan rumah sakit untuk memfasilitasi respon cepat bagi keadaan darurat medis. 5. Melatih rumah sakit mampu menangani keadaan medis yang darurat.

Siapa Saja Tim Code Blue ?

Banyak rumah sakit memiliki tim kode biru yang merespons kode biru dalam beberapa menit. Tim ini terdiri dari:

  • Dokter;
  • Perawat;
  • Perawat intensif/perawat ICU;
  • Seorang apoteker.

            Satu Tim Code Blue terdiri dari minimal 5 orang yaitu

  • (1) pemimpin resusitasi,
  • (2)  perawat yang bertugas di airway dan ventilasi,
  •  (3) perawat yang bertugas kompresi dada,
  • (4) perawat yang bertugas sirkulasi dan obat-obatan, dan
  •  (5) perawat yang bertugas dokumentasi.

,Alasan Umum Untuk Mengaktifkan Code Blue antara lain:

  • Henti jantung seperti serangan jantung atau aritmia berbahaya;
  • Henti pernapasan (saat seseorang berhenti bernapas);
  • Kondisi saat seseorang menjadi sangat bingung, tidak waspada, atau menunjukkan tanda-tanda stroke;
  • Penurunan tekanan darah yang tiba-tiba dan parah.
  • Ruang Lingkup Sistem respon cepat code blue dibentuk untuk memastikan bahwa semua kondisi cardiac respiratory arrest tertangani dengan resusitasi dan stabilisasi sesegera mungkin. Sistem respon terbagi dalam 2 tahap, yaitu:
  • a. Respon awal (responder pertama) berasal dari petugas rumah sakit baik
  • b. medis ataupun non medis yang berada di sekitar korban.
  •  c. Respon kedua (responder kedua) berasal dari tim code blue

Baca juga : Prosedur Khusus Triase dalam Kegawatdaruratan

Gimana Sih Prosedur Code Blue ?

Adapun Prosedur Code Blue Sebagai Berikut :

1.      Jika didapatkan seseorang atau pasien dalam kondisi cardiac respiratory arrestmaka perawat ruangan atau first responder berperan dalam tahap pertolongan, yaitu:

  • a.      Segera melakukan penilaian dini kesadaran korban.
  • b.      Pastikan lingkungan penderita aman untuk dilakukan pertolongan.
  • c.      Lakukan cek respon penderita dengan memanggil nama atau menepuk bahu.
  • d.      Meminta bantuan pertolongan perawat lain atau petugas yang ditemui di lokasi untuk mengaktifkan code blue.
  • e.      Lakukan Resusitasi Jantung Paru (RJP) sampai dengan tim code blue

2.      Perawat ruangan yang lain atau penolong kedua, segera menghubungi operator telepon “4444” untuk mengaktifkan code blue, dengan prosedur sebagai berikut:

  • a.      Perkenalkan diri.
  • b.      Sampaikan informasi untuk mengaktifkan code blue.
  • c.      Sebutkan nama lokasi terjadinya cardiacrespiratory arrest dengan lengkap dan jelas, yaitu: area ….. (area satu/dua/tiga/empat), nama lokasi atau ruangan.
  • d.      Jika lokasi kejadian di ruangan rawat inap maka informasikan : “ nama ruangan ….. nomor …. “.
  • e.      Waktu respon operator menerima telepon “4444” adalah harus secepatnya diterima, kurang dari 3 kali deringan telepon.

3.      Jika lokasi kejadian berada di area ruang rawat inap ataupun rawat jalan,

setelah menghubungi operator, perawat ruangan segera membawa troli emergensi (emergency trolley) ke lokasi dan membantu perawat ruangan melakukan resusitasi sampai dengan tim Code Blue datang. Operator menggunakan alat telekomunikasi Handy Talky (HT) atau pengeras suara mengatakan code blue dengan prosedur sebagai berikut:

  • a.      “Code Blue, Code Blue, Code Blue, di area …..(satu/dua/tiga/empat), nama lokasi atau ruangan…..”.
  • b.      Jika lokasi kejadian diruangan rawat inap maka informasikan: “Code Blue, Code Blue, Code Blue,nama ruangan ….. nomor kamar …..”.
  • c.      Setelah tim code bluemenerima informasi tentang aktivasi code blue, mereka segera menghentikan tugasnya masing-masing, mengambil resusitasi kit dan menuju lokasi terjadinya cardiac respiratory arrest. Waktu respon dari aktivasi code blue sampai dengan kedatangan tim code blue di lokasi terjadinya cardiac respiratory arrest adalah 5 menit.

4.      Sekitar 5 menit kemudian, operator menghubungi tim code blueuntuk memastikan bahwa tim code blue sudah menuju lokasi terjadinya cardiac respiratory arrest

5.      Jika lokasi terjadinya cardiacrespiratory arrest adalah lokasi yang padat manusia (public area) maka petugas keamanan (security) segera menuju lokasi terjadinya untuk mengamankan lokasi tersebut sehingga tim code blue dapat melaksanakan tugasnya dengan aman dan sesuai prosedur.

6.      Tim code bluemelakukan tugasnya sampai dengan diputuskannya bahwa resusitasi dihentikan oleh ketua tim code blue.

7.      Untuk pelaksanaan code bluedi area empat, Tim code blue memberikan bantuan hidup dasar kepada pasien kemudian segera ditransfer ke Instalasi Gawat Darurat.

8.      Ketua tim code blue memutuskan tindak lanjut pasca resusitasi, yaitu:

  • a.      Jika resusitasi berhasil dan pasien stabil maka dipindahkan secepatnya ke Instalasi Perawatan Intensif untuk mendapatkan perawatan lebih lanjut jika keluarga pasien setuju.
  • b.      Jika keluarga pasien tidak setuju atau jika Instalasi Perawatan Intensif penuh maka pasien di rujuk ke rumah sakit yang mempunyai fasilitas
  • c.      Jika keluarga pasien menolak dirujuk dan meminta dirawat di ruang perawatan biasa, maka keluarga pasien menandatangani surat penolakan.
  • d.      Jika resusitasi tidak berhasil dan pasien meninggal, maka lakukan koordinasi dengan bagian bina rohani, kemudian pasien dipindahkan ke kamar jenazah.

9.      Ketua tim code blue melakukan koordinasi dengan DPJP.

10.  Ketua tim code blue memberikan informasi dan edukasi kepada keluarga pasien.

11.  Perawat ruangan mendokumentasikan semua kegiatan dalam rekam medis pasien dan melakukan koordinasi dengan ruangan pasca resusitasi.

Referensi :

Duncan, K., & McMullan, C. (2012). Early Warning System. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins.

Monangi S, Setlur R, Ramanathan R, Bhasin S, Dhar M, (2018). Analysis of functioning and efficiency of a code blue system in a tertiary care hospital. SaudiJ Anaesth; 12:245-9.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *