Opini  

When Breath Becomes Air, Memoar Menakjubkan Yang Cocok Dibaca Tenaga Kesehatan

Halo teman – teman sejawat!

Tak terasa kita telah melewat empat bulan pertama di
tahun ini. Apakah masih produktif? Masih semangat menjalani hari? Atau padapunya kesibukan baru nih?

Buat temen – temen yang sibuk menjalani hari yuk jangan lupa membaca! Kenapa membaca itu perlu? Karena dengan membaca kita bisa
mengerti berbagai perspektif. Nah disini kami membawa salah satu buku yang cocok banget dibaca mahasiswa kesehatan atau tenaga kesehatan.

Tugas dokter bukanlah menghindarkan kematian atau mengembalikan pasien pada kehidupan lama mereka, melainkan merengkuh pasien dan keluarganya yang mengalami kehancuran hidup, kemudian berupaya hingga mereka bisa kembali berdiri tegak dan menghadapi, serta memahami, eksistensi mereka sendiri.” – hal. 163

 “Semua orang menyerah pada kefanaan. Kurasa bukan aku satu – satunya orang yang mencapai keadaan waktu lampau ini. Sebagian besar ambisi entah yang sudah tercapai atau yang ditinggalkan; yang mana pun itu , semuanya berada pada masa lalu. Masa depan, alih – alih seperti tangga menuju tujuan hidup, berubah datar menjadi
masa kini yang abadi. Uang, status, semua kesia – siaan yang dijelaskan oleh Kitab
Pengkhotbah itu, nyaris tak menarik lagi: benar – benar seperti mengejar angin
.”
– hal. 195

 Pada akhirnya Paul memahami arti ‘kematian’ karena dia bukan saja sosok yang menghantarkan kematian namun juga mengalaminya. Ya, buku ini bisa menjadi pengingat tersendiri untuk tenaga medis bahwa kematian bisa saja hal yang dekat dengan kita.

Sejak awal membaca buku ini, mungkin pembaca yang sudah terbiasa dengan ruangan di Rumah Sakit akan langsung terbayang dengan
kondisinya. Paul menggambarkan semuanya secara jelas. Ketika membaca setiap halaman selanjutnya, pembaca dapat merasakan bahwa semua tulisan tersebut berasal dari hati. Sudut pandang yang diberikan menarik kita seperti turut ada di kejadian itu. Dijelaskan juga pada akhir buku itu, bahwa Paul menulis bukunya tanpa henti. Dari ketika masih menjadi dokter residen bedah saraf sampai ketika mendapatkan perawatan
paliatifnya.

Buku ini sangat cocok dibaca untuk mahasiswa kesehatan yang akan terjun dengan pasien untuk pertama kalinya. Karena akan mengingatkan
kita pada “Apakah ini tujuan awalku disini?” Lama – kelamaan setelah membaca buku ini, kemungkinan besar untuk yang belum sepenuhnya menempatkan hatinya di kesehatan, akan memurnikan niatnya.

Karena Paul yang mengajarkan kita bahwa arti hidup dan tanggung jawab dengan pasien. Seperti Paul memberikan kita contoh mengenai empati yang ia berikan dan ia terima sekaligus.

When Breath Becomes Air adalah sebuah memoar yang ditulis oleh Paul Kalanithi, seorang residen ahli bedah yang divonis menderita kanker paru-paru setahun sebelum masa residensinya selesai. Buku tersebut dibuka dengan prolog ketika Paul duduk di ruang radiologi, mengenakan jubah pasien dan melihat gambar pemindaian tubuhnya sendiri.

Tak pernah terbesit di pikiran Paul akan mengalami hal tersebut. Sekitar enam bulan yang lalu, bobotnya merosot dan dia merasakan sakit punggung yang parah. Hingga kemudian Paul mendatangi dokter umum langganannya, mantan teman kuliahnya di Stanford.

Paul mengetahui banyak soal sakit punggung. Mulai dari anatominya, fisiologinya, kata – kata pasien mengenai nyerinya. Tetapi dia tak pernah merasakannya sampai saat itu. Paul merasa semua tanggung jawab dibebankan di pundaknya sebagai kepala dokter residen.

Sakitnya kegagalan membuatku memahami bahwa keunggulan teknis adalah persyaratan moral. Iktikad baik tidaklah cukup ketika ada begitu banyak orang yang bergantung pada keahlianku, ketika perbedaan antara tragedi dan kemenangan didefinisikan oleh 1 atau 2 milimeter saja.” – hal. 105

 Di buku ini, Kalanithi mengajak kita masuk ke dalam pencarian makna hidupnya. Mulai dari menceritakan bahwa sewaktu berkuliah di Stanford dia mengambil jurusan Sastra Inggris dan Biologi Manusia. Perjalanan Paul disini selalu diiringi dengan pertanyaan “Apa yang membuat kehidupan manusia begitu berharga?”

Dengan menceritakan awal perjalanannya saja sudah membuat pembaca begitu tertarik kepada buku ini. Bagaimana bisa sastra dan biologi berhubungan? Apakah ada korelasi antara ilmu sastra dan ilmu kedokteran? Mengapa Paul mengambil dua jurusan itu bersamaan?

Selain itu buku ini mengajak kita mencari arti kata ‘mortalitas’. Paul mengajak pembaca hadir di situasi antara hidup dan mati yang ia alami.

Kalian dapat membaca buku ini dengan versi Bahasa Inggris ataupun Bahasa Indonesia. Untuk versi Bahasa Indonesia diterbitkan oleh Bentang Pustaka pada tahun 2016. Atau dapat membaca versi e-book melalui Google Play Books.

When Breath Becomes Air ditutup dengan Epilog yang ditulis oleh Lucy Kalanithi, istri sekaligus saksi kisah Paul. Dimana Lucy menceritakan kehidupannya mendekati dan semenjak kematian Paul. Lucy juga mengingatkan kita bagaimana kondisi keluarga pasien, dimana mereka berjuang dan bingung dengan kondisi yang menimpa mereka.

Menurut Lucy, When Breath Becomes Air belum selesai. Namun disitulah letak realitas buku ini. Jangan heran bahwa menjelang akhir buku ini, pembaca akan terbawa suasana sampai meneteskan air mata.

Bagaimana kawan sejawat? Tertarik untuk membaca salah satu buku menakjubkan ini?(*)

(Dok/AF)

Exit mobile version