Askep  

Asuhan Keperawatan Pada Pasien Depresi dengan Multiple Sclerosis

Photo://MediaPerawat

Mediaperawat – Multiple sclerosis (MS) adalah penyakit autoimun yang menyerang mielin otak dan medula spinalis. Penyakit ini menyebabkan kerusakan mielin dan juga akson yang mengakibatkan gangguan tranmisi konduksi saraf. Penyakit ini juga berpotensi menyebabkan masalah komunikasi antara otak dan anggota tubuh lain, serta melumpuhkan otak dan sumsum tulang belakang (sistem saraf pusat).

Multiple sclerosis merupakan penyakit berat yang secara medis obatnya belum ditemukan serta penyintasnya belum ada yang sembuh 100%. Menurut Dargahi (2017) penyakit ini dapat menyebabkan saraf itu sendiri memburuk dan rusak secara permanen. 

Penyakit ini merupakan penyakit yang cukup aneh baik menurut orang lain dan bahkan bagi penderitanya sendiri. Gejala yang timbul terjadi secara tiba-tiba dan biasa hilang lagi sekejap. Atau gejala tersebut menetap selama berhari-hari atau berminggu-minggu atau bahkan berbulan-bulan.

Ada beberapa gejala potensial multiple sclerosis yang dapat timbul pada penyintas meskipun tampak agak kabur. Mengutip dari Eathis, gejala potensial multiple sclerosis terdiri dari masalah penglihatan, kesemutan atau mati rasa, kesulitan berjalan, kelelahan, dan masalah kognitif.

Hingga saat ini penyebab pasti multiple sclerosis belum diketahui. Meskipun begitu, ada beberapa dugaan bahwa lingkungan, virus,repons autoimun, reaksi alergi, anoksia, toksin dan gizi, trauma dan faktor genetik mungkin menjadi penyebabnya.

Beberapa kasus multiple sclerosis memunculkan hipotesa bahwa penyakit ini adalah penyakit autoimun akibat cedera selubung myelin dan/atau sel oligodendroglia yang diperantarai oleh sel T.  Penelitian menunjukan jika orang dewasa pindah dari tempat dengan risiko tinggi ke tempat yang memiliki risiko rendah ia tetap mempunya risiko tinggi untuk menderita multiple sclerosis.

Baca juga : Asuhan Keperawatan Resiko Ketidakseimbangan Kadar Glukosa Darah [D.0038]

Akan tetapi, jika migrasi terjadi sebelum mencapai usia 15 tahun, maka individu tersebut mempunyai risiko rendah sesuai dengan tempat tinggalnya yang baru. Sehingga timbul hipotesis bahwa penyebab lingkungan dapat memicu respons auto imun pada individu yang rentan secara genetik.

PENGKAJIAN

  1. Keluhan Utama : Keluhan utama biasanya adalah melemahnya anggota gerak, dan bahkan mungkin klien mengalami kekejangan dan kaku otot (spastisitas) serta gangguan penglihatan.
  2. Riwayat penyakit
    • Pernah mengalami penyakit autoimun yang lain.
    • Pada umumnya terjadi demilinasi pada susunan saraf pusat tepi yang mengakibatkan penurunan kemampuan motorik, sensorik, dan juga kognitif.
    • Memiliki anggota keluarga yang sebelumnya pernah menderita penyakit yang sama.
  3. Pemeriksaan Fisik
    • Keadaan Umum
      • Penyintas multiple sclerosis mungkin mengalami perubahan pada tanda-tanda vital, meliputi bradikardi, hipotensi, dan penurunan frekuensi pernapasan berhubungan dengan bercak lesi di medulla spinaliss.
    • B1 (Breath)
      • Beberapa penyintas MS mungkin mengalami gangguan pernafasan. Adapun pemeriksaan fisiknya dapat dilakukan mencakup hal-hal berikut ini.
        • Pemeriksaan umum untuk mengkaji apakah penyintas mengalami batuk atau penurunan kemampuan untuk batuk efektif, peningkatan produksi sputum, sesak napas, dan penggunaan alat bantu napas.
        • Palpalasi untuk mengetahui apakah taktil premitus seimbang kanan dan kiri.
        • Parkusi untuk mengetahui adanya suara resonan pada seluruh lapangan baru.
        • Auskultasi untuk mengetahui bunyi napas tambahan seperti napas strider, ronkhi (pada penyintas dengan peningkatan produksi secret), dan menurunnya kemampuan batuk (pada penyintas dengan inaktivitas).
    • B2 (Blood)
      • Akibat dari tirah baring lama dan inaktivitas, penyintas multiple sclerosis mungkin mengalami hipotensi postural.
    • B3 (Brain)
      • Pengkajian otak dilakukan untuk mencari tahu berbagai manifestasi akibat perubahan tingkah laku.
    • B4 (Bladder)
      • Lesi pada tractus kortokospinalis menimbulkan gangguan pengaturan spingter hingga kapasitas kandung kemih berkurang dan juga timbulnya retensi serta inkotinensia urine.
    • B5 (Bowel)
      • Penyintas mungkin mengalami kekurangan nutrisi berhubungan dengan berkurangnya asupan  nutrisi karena kelemahan fisik dan perubahan status kognitif. Kondisi ini dapat memicu masalah konstipasi.
    • B6 (Bone)
      • Penyintas multiple sclerosis biasanya mengalami kesulitan beraktivitas akibat kelemahan spastik anggota gerak.

INTERVENSI DAN RASIONAL

Diagnosis : Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan kelemahan, paretis, dan spastisitas.

Tujuan : Pasien dapat melaksanakan aktivitas fisik sesuai dengan kemampuan.

  1. Kriteria hasil :
    • Pasien mampu ikut serta dalam program latihan.
    • Tidak terjadi kontraktor sendi.
    • Bertambahnya kekuatan otot.
    • Pasien menunjukan tindakan untuk meningkatkan mobilitas.
  2. Intervensi:
    • Kaji moblitas pasien dan observasi terhadap peningkatan kerusakan, kaji secara teratur fungsi motorik
      • Rasional: Mengetahui tingkat kemampuan pasien dalam melakukan aktivitas.
    • Modifikasi peningkatan mobilitas fisik
      • Rasional: Relaksasi dan koordinasi latihan otot meningkatkan efesiensi otot.
    • Anjurkan teknik aktivitas dan teknik istirahat
      • Rasional: Pasien dianjurkan untuk melakukan aktivitas dalam waktu singkat. Aktivitas yang lama dan melelahkan ekstremitas dapat menyebabkan paresis, kebas, atau tidak ada koordinasi.
    • Ajarkan teknik latihan berjalan
      • Rasional: Latihan berjalan meningkatkan gaya berjalan, karena umumnya kaki dan telapak kaki kehilangan sensasi positif.
    • Ubah posisi pasien setiap 2 jam
      • Rasional: menurunkan risiko terjadinya inkemia jaringan akibat sirkulasi darah yang buruk pada daerah yang tertekan.
    • Ajarkan pasien untuk melakukan latihan gerak aktif pada ekstermitas yang tidak sakit.
      • Rasional: Gerakan aktif memberikan massa, tonus dan kekuatan otot serta memperbaiki fungsi jantung dan pernapasan.
    • Lakukan gerak pasif pada ekstermitas yang sakit
      • Rasional: otot tidak sadar akan kehilangan tonus dan kekuatan bila tidak dilatih bergerak.
    • Bantu pasien meningkatkan ROM, perawatan diri sesuai toleransi
      • Rasional: Merawat fleksibilitas sendi sesuai kemampuan.
    • Kolaborasi dengan ahli fisioterapi untuk latihan fisik pasien
      • Rasional: Peningkatan kemampuan dalam mobilisasi ekstermitas dapat ditingkatkan dengan latihan fisik dari fisioterapi.

Baca juga : Memahami Konsep Asuhan Keperawatan Pada Pasien Tuberkulosis

Diagnosis: Risiko cedera yang berhubungan dengan kerusakan sensori dan penglihatan, dampak tirah baring lama dan kelemahan spastis.

Tujuan: Risiko trauma tidak terjadi.

  1. Kriteria hasil:
    • Pasien mau berpartisipasi dalam pencegahan trauma.
    • Decubitus tidak terjadi.
    • Kontraktur sendi tidak terjadi.
    • Pasien tidak terjatuh dari tempat tidur.
  2. Intervensi:
    • Pertahankan tirah baring dan imobilisasi sesuai indikasi
      • Rasional: meminimalkan rangsangan nyeri akibat gesekan antara fragmen tulang dengan jaringan lunak di sekitarnya.
    • Berikan kacamata yang sesuai dengan klien
      • Rasional: Kacamata dapat digunakan untuk memblok implus penglihatan pada salah satu mata bila pasien mengalami diplopia atau penglihatan ganda.
    • Minimalkan efek imobilitas
      • Rasional: Aktivitas fisik dan imobilisasi sering terjadi pada pasien multiple sclerosis, oleh karena itu komplikasi yang berkaitan dengan imobilisasi mungkin terjadi.
    • Modifikasi pencegahan cedera
      • Rasional: pencegahan cedera dilakukan jika disfungsi motorik menyebabkan masalah seperti tidak ada koordinasi dan kekakuan atau jika muncul ataksia, ada risiko pasien terjatuh.
    • Modifikasi lingkungan
      • Rasional: berlatih berjalan dengan kaki telanjang pada ruang yang luas dapat meningkatkan kemampuan berjalan dengan stabil.
    • Ajarkan teknik berjalan
      • Rasional: Jika kehilangan sensasi terhadap posisi tubuh, klien dianjurkan melihat kaki sambil berjalan.
    • Berikan terapi okupasi
      • Rasional: terapi okupasi membantu pasien dalam meningkatkan kemandirian.
    • Meminimalkan risiko decubitus
      • Rasional: hilangnya sensori dapat menyebabkan menurunnya gerakan motorik. Decubitus terus diatasi untuk integritas kulit. Penggunaan kursi roda meningkatkan risiko.
    • Inpeksi kulit pada bagian distal setiap hari, pantau kulit dan membrane mukosa terhadap iritasi, kemerahan, atau lecet-lecet.
      • Rasional: deteknsi dini kemungkinan gangguan sirkulasi dan hilangnya sensasi meminimalkan risiko kerusakan integritas kulit dan komplikasi imobilisasi.
    • Minimalkan spastisitas dan kontraktur
      • Rasional: Spastisitas otot biasa terjadi pada tahap lanjut dan terlihat dalam bentuk aductur berat pada pinggul, dan spasme fleksor pada pinggul dan lutut.
    • Ajarkan teknik latihan
      • Rasional: latihan setiap hari untuk meningkatkan kekuatan otot untuk meminimalkan kontraktur sendi. Perhatian khusus diberikan pada otot-otot paha, otot gatroknemeus, adductor, biseps, dan pergelangan tangan serta fleksor jari-jari.
    • Pertahankan sendir 90 derajat terhadap papan kaki
      • Rasional: telapak kaki dalam posisi 90 derajat dapat mencegah footdrop.
    • Evaluasi tanda atau gejala perluasan cedera jaringan, peradangan lokal atau sistemik seperti peningkatan nyeri, edema dan demam.
      • Rasional: menilai perkembangan masalah pasien.

Baca juga : Asuhan Keperawatan Jiwa pada Klien dengan Waham

Diagnosis: Perubahan pola eliminasi urine berhubungan dengan kelumpuhan saraf perkemihan.

Tujuan: Eliminasi urine terpenuhi.

  1. Kriteria hasil:
    • Pemenuhan eliminasi urin dapat dilaksanakan dengan atau tanpa menggunakan keteter.
    • Produksi 50 cc/jam.
    • Keluhan eliminasi urin tidak ada
  2. Intervensi:
    • Kaji pola berkemih dan catat urin setiap enam jam
      • Rasional: Mengetahui fungsi ginjal.
    • Tingkatkan kontrol berkemih dengan cara memberikan dukungan pada pasien tentang pemenuhan eleminasi urin, lakukan jadwal berkemih, ukur jumlah urin tiap dua jam.
      • Rasional: Jadwal berkemih diatur awalnya setiap 1-2 jam dengan perpanjangan interfal waktu bertahap. Klien diintruksikan untuk menakar jumlah air yang diminum 2 jam danmencoba berkemih 30 menit sebelum minum.
    • Palpasi kemungkinan adanya distensi kandung kemih.
      • Rasional: Menilai perubahan akibat dari inkontinensial urin.
    • Anjurkan pasien untuk minum 2000 cc/hari.
      • Rasional: Mempertahankan fungsi ginjal.

Daftar Referensi :

Catur Budi Susilo. 2019. Keperawatan Medikal Bedah Persarafan. Yogyakarta: Pustaka Baru Press

Rahma Tia, Askep Multiple Sklerosis.  https://www.academia.edu/34679398/ASKEP_MULTIPLE_SKLEROSIS (Diakses pada 23 Juni 2022) 

https://www.eatthis.com/news-multiple-sclerosis-signs-applegate/ (Diakses pada 24 Juni 2022)

Riswanti Estiasari, Sklerosis Multipel. CDK Journal Volume 41 No. 6 Tahun 2014.

J.C Suryo, Sklerosis Multiple: Diagnosis dan Tatalaksana. Journal CDK Edisi CME-3/Vol.48 No.8, Thun 2021

banner 728x90
Exit mobile version