Opini  

Toxic Positivity : Ketika Kalimat Penyemangat Menjadi Sebuah Bumerang Untuk Kesehatan Mental

GETTY IMAGES

Toxic positivity merupakan suatu keyakinan bahwa sesulit atau seberat apapun situasi yang dihadapi, orang harus tetap mempertahankan pikiran positif dan menolak kehadiran emosi negatif dalam dirinya. Emosi negatif dalam diri tetap perlu diekspresikan, bukan untuk tidak dirasakan atau ditiadakan apalagi disangkal dengan hanya mempertahankan energi positif saja. Terkadang ketika kita dihadapkan pada masalah, baik pencerita maupun pendengar selalu menyimpulkan terlalu cepat, tidak mengerti mau bilang apa atau mungkin kehabisan kata-kata dan kurang empati.

Akibatnya adalah kalimat yang keluar menjadi toxic dan bisa berdampak negatif pada kesehatan mental. Sebaiknya jika seseorang curhat pada kita maupun mengeluhkan masalah yang terjadi pada dirinya, telaah terlebih dahulu kalimat yang akan kita berikan dan jangan berikan kalimat seperti membanding-bandingkan

Baca Juga : Tips and Trick Atasi Pressure Mahasiswa Keperawatan Tingkat Akhir

“Masalah segitu aja ngeluh, aku dulu lebih parah. Ayo semangat”.

Tujuannya memang memberikan energi positif berupa kalimat penyemangat, tetapi malah berakibat fatal seperti smile depression, konflik dalam hubungan sosial dan stress yang berkepanjangan.

Sikap membanding-bandingkan ini membuat seseorang merasa malu dan enggan untuk bercerita kembali akhirnya dia memendam perasaan sedihnya, dan berusaha untuk tetap tersenyum. Mengungkapkan perasaan sedih sangat wajar dan normal untuk dikeluarkan, dengan begitu permasalahan yang ada sedikit terobati dan merasa lega. 

Source : Freepik.com

Dalam Webinar Nasional yang diselenggarakan oleh @untoxic.positivity dengan tema “Toxic Positivity : Terbiasa atau Dibiasakan” pada hari Sabtu (10/04/2021) pakar psikologi Efnie Indrianie, M.Psi dan Devina P Zabrina, M.Psi mengupas tuntas mengenai toxic positivity ini. Pakar psikologi Devina P Zabrina, M.Psi atau biasa disapa dengan Kak Devina mengatakan bahwa terdapat perbedaan antara toxic positivity dan healthy positivity.

Toxic Positivity

  • Menolak rasa tidak nyaman
  • don’t worry, be happy
  • good vibes only
  • “ambil hikmahnya aja”
  • “pikir positifnya, buang negatifnya”
  • “nanti juga bakalan baik-baik aja kok”
  • “bersyukur dong masih segitu aja”

Healthy Positivity

  • Memahami & menerima rasa tidak nyaman
  • “Aku bisa bantu apa?”
  • all vibes are welcome
  • “sedih boleh kok”
  • “aku ada buat kamu, ya”
  • “kamu bisa share ke aku kalo kamu mau”
  • “yang kamu alami berat, wajar kamu tertekan”

Baca Juga : Perilaku Self-Harm pada Remaja

Dari perbedaan tersebut jangan sampe kita terjebak dalam toxic positivity dan bahkan malah kita sendiri yang toxic pada orang lain. “Semakin kamu menenggelamkan emosimu, semakin ia merugikan dirimu” tuturnya.

Emosi sudah seharusnya diluapkan dalam bentuk yang berbeda-beda sesuai dengan kepribadian masing-masing. Kak Devina bercerita bahwa dia pernah mendapatkan telfon dari temannya yang curhat selama berjam-jam dan dia hanya mendengarkan suara tangisannya tanpa mengetahui masalah apa yang terjadi. Ketika temannya sudah merasa agak tenang barulah dia mengatakan

“Terimakasih ya, tidak mematikan telfonku. Tapi aku tidak bisa cerita ke kamu”.

Sederhana bukan? Terkadang seseorang hanya perlu didengar dengan sepenuh hati, maka dari itu menjadi seorang pendengar yang baik juga penting. 

Dampak buruk toxic positivity terhadap kesehatan mental yaitu menutup diri sendiri/mengucilkan diri sendiri, stress hingga depresi karena terlalu banyak memendam perasaan sebenarnya yang dirasakan, hilangnya kepercayaan untuk melakukan interaksi sosial, kebingungan emosi dalam dirinya, 

Tips dari Kak Devina untuk menghadapi toxic positivity adalah dimulai dari diri kita sendiri. Yang pertama adalah “tidak menggurui” responlah sebagai teman, yang sejajar dan mendampingi, bukan sebagai orang yang lebih tahu atau lebih mampu. Yang kedua be realistic perasaan negatif adalah wajar dan logis dialami manusia. Faktanya, tidak ada orang yang terhindarkan mengalami perasaan yang tidak menyenangkan. Yang terakhir adalah “pahami prosesnya” tidak usah terburu-buru. 

Lakukan Self Check apakah diri kita sendiri merupakan orang yang menyebar toxic positivity. Self Check yang dipaparkan oleh Kak Devina adalah :

  1. Unmatch Response 

Respon yang terlalu sederhana contoh “ga usah baper”.

  1. Tidak Memberi Ruang Untuk Rasa Sakit 

Emosi negatif itu rumit, berantakan, menyakitkan, tapi bukan berarti tidak boleh ada. Contoh naif, harus selalu tersenyum, memendam perasaan sedih.

  1. All or Nothing 

Memakai kata semuanya, tidak ada seorang pun, semua orang, tidak ada, selalu, tidak pernah dll. Contoh “Everything will be ok“, “Tidak ada yang permanen”

  1. Membandingkan

Membandingkan pengalaman dengan orang lain, mengecilkan/meremehkan masalah.

  1. Body Language 

Bahasa nonverbal (nada suara, postur, gestur dll) orang yang diajak berbicara terlihat/terdengar tidak nyaman. Contoh fake smile, tidak melakukan kontak mata. 

Baca Juga : Mental Illness Jadi Trend di Kalangan Remaja

Apabila kelima poin tersebut ada dalam diri kita dan pernah mengungkapkannya pada seseorang yang curhat pada kita berarti kita merupakan orang yang menyebarkan toxic positivity atau bahkan memberikan kesan toxic positivity pada diri kita sendiri. Sudah seharusnya dihindari dan diubah menjadi healthy positivity. Karena jika berlarut-larut dan tidak mengerti bagaimana mengatasinya maka dapat merugikan diri sendiri dan orang lain. 

Kemudian pakar psikologi Efnie Indrianie, M.Psi mengatakan bahwa strategi sederhana untuk mengatasi toxic positivity adalah : 

  1. Kelola emosi kita, bukan menolak kehadirannya
  2. Sadari apa yang kita rasakan saat ini
  3. Terima dan nikmati berbagai perasaan yang muncul saat ini
  4. Fokus dan dengarkan orang-orang yang memberikan dukungan pada kita, bukan sekedar memberikan standar ideal pada kita
  5. Berikan waktu untuk mendengarkan suara hati 

Lebih baik mencegah daripada mengobati, kesehatan mental adalah yang paling utama. Apabila sudah berdampak pada kesehatan mental maka untuk mengobatinya memerlukan jangka waktu yang cukup lama. Stress hingga depresi yang berbulan-bulan memerlukan bantuan obat-obatan dan konsultasi ke psikolog. “It’s Okay Not To Be Okay”. Tidak perlu memalsukan kebahagiaan dan mengabaikan apa yang sedang dirasakan.

(DOK/NF)

Exit mobile version