banner 728x250

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Fungsi Perkemihan pada Klien Lanjut Usia

Faktor yang Mempengaruhi Fungsi Perkemihan Lansia

Mediaperawat.id – Peningkatan jumlah penduduk lansia di Indonesia menjadi sorotan bagi pemerintah, khususnya bidang kesehatan. Kemenkes RI (2013) mendeskripsikan bahwa persentase lansia tahun 2012 menjadi 7,56% dengan tingkat ketergantungan sebesar 11,90. Berbagai program kesehatan (promotif dan preventif) telah dirumuskan untuk meningkatkan status kesehatan lansia, seperti deteksi dini dan pemantauan kesehatan lansia.

Penelitian Gibson & Wagg (2014) menjelaskan bahwa individu maupun keluarga terkadang masih berasumsi bahwa tanda-gejala yang tampak termasuk bagian proses menua yang ‘normal’ atau dampak dari penyakit saat ini, seperti inkontinensia. Akibatnya, gangguan sistem tubuh lansia terdeteksi saat kondisinya sudah kronis, termasuk fungsi perkemihan.

Inkontinensia terjadi pada 30% lansia dengan dwelling chateter (DC) dan 50% lansia yang tinggal di rumah perawatan (Cook & Sobeski, 2013). Dalam laporan ini, penulis akan menjelaskan beberapa faktor risiko terjadinya gangguan fungsi perkemihan lansia yang disintesis dari berbagai sumber ilmiah dengan metode kajian literatur. Penulis juga merekomendasikan pembaca untuk mengkaji lebih lanjut sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan evidance based-practice terkini.

Beberapa faktor risiko dapat berdampak lebih besar dibandingkan pengaruh usia lansia terhadap fungsi sistem perkemihan. Miller (2012) mengelompokkan faktor tersebut menjadi lima, yaitu perilaku yang mengikuti mitos atau kurangnya pengetahuan; ketidakseimbangan fungsi perkemihan; kondisi patologis; efek medikasi; dan faktor lingkungan. Berikut penjelasannya:

1. Mitos, persepsi mengenai penyakit tua mengakibatkan rendahnya kesadaran lansia/keluarga untuk memanfaatkan pelayanan kesehatan, seperti kondisi inkontinensia. Hal ini dapat terjadi karena pengaruh budaya, malu dengan kondisinya, asumsi kenormalan dari proses menua, pembatasan asupan cairan, hingga intervensi dari pelaku rawat atau perawat sendiri yang belum tepat sasaran. (Miller, 2012; NIH, 2013; Mauk, 2014).

Baca Juga: Pengkajian Fungsi Kognitif pada Lansia: MMSE

2. Gangguan fungsional, faktor mayor penyebab inkontinensia berhubungan dengan rendahnya kemampuan lansia untuk menyadari urgensi waktu berkemih. Beberapa lansia tidak dapat membedakan antara waktu yang tepat untuk menunda urinasi atau mengosongkan kandung kemih segera.

Lansia yang tidak dapat mandiri melakukan aktivitas sehari-hari berisiko mengalami inkontinensia karena cenderung belum mampu mempertahankan waktu atau keinginan berkemih secara sadar. Hal ini juga dipengaruhi oleh penurunan kemampuan mobilisasi atau kognitif yang menghambat aktivitas berkemih. (Miller, 2012; Touhy & Jett, 2014; NHS, 2016).

3. Kondisi patologis, proses penyakit yang meningkatkan risiko inkontinensia pada lansia diakibatkan secara tidak langsung oleh gangguan saluran perkemihan dan sistem lainnya. Misalnya, lansia perempuan mengalami disfungsi otot pelvis yang mengurangi kemampuan untuk mengosongkan kandung kemih dan mengakibatkan inkontinensia hingga bakteriuria.

Selain itu, penurunan estrogen menyebabkan atropi jaringan vagina dan trigonal sehingga resisten terhadap patogen yang meningkatkan risiko infeksi (Cook & Sobeski, 2013). Akibatnya, lansia mengalami urgensi urinasi, frekuensi urinasi, dan inkontinensia. Pada lansia laki-laki, pembesaran prostat memicu terjadinya nokturia. Infeksi saluran kemih, akibat pemasangan DC/perilaku seksual/kondisi medis, juga sering menimbulkan inkontinensia (Healthscope Medical Centres, 2011).

Gangguan sistem saraf pusat/perifer menjadi pemicu inkontinensia pada lansia, seperti demensia. Penyebab lain inkontinensia yaitu penekanan kandung kemih (akibat gastroenteritis, konstipasi, dan impaksi), ketidakseimbangan metabolisme (seperti hiperkalsemia), hingga status kesadaran. (Miller, 2012; Mauk, 2014).

Baca Juga: Asuhan Keperawatan Pada Lansia dengan Remathoid Arthitis

4. Efek medikasi, inkontinensia dapat terjadi akibat penggunaan diuretik hingga pengobatan hiperplasia prostat seperti antikolinergik/adrenergik/terazosin (Gambar 4.1 Terlampir).

5. Faktor lingkungan, lansia berisiko mengalami inkontinensia karena keterbatasan akses toilet. Hal ini terjadi akibat lokasinya yang jauh dan banyaknya rintangan seperti tangga, tidak adanya pegangan tangan, ruangan yang sempit, serta ketinggian toilet (Miller, 2012).

Perawat perlu melakukan advokasi terfokus pada strategi konservatif dan holistik dalam manajemen risiko infungsional perkemihan lansia melalui pemberdayaan keluarga dan ahli terapis (Spencer, McManus, & Sabourin, 2017). Sehingga, status kesehatan fungsi perkemihan lansia dapat terkontrol dan ditingkatkan.

Dengan demikian, perawat maupun pelaku rawat sangat berperan dalam upaya pemeriksaan sejak dini status kesehatan lansia dan upaya promotif dengan memahami faktor-faktor risiko dan riwayat lansia.

Penulis menyimpulkan bahwa faktor risiko ini dapat diminimalisasi dengan pemberian informasi kepada klien maupun keluarga terkait perilaku hidup sehat dan perawatan lansia yang tepat. Penggalakan upaya promotif dan preventif dapat dilakukan untuk meningkatkan status kesehatan lansia, khususnya kondisi yang masih menjadi stigma ‘normal atau penyakit tua’ di kalangan masyarakat.

Optimalisasi peran perawat dan pelaku rawat (keluarga) tentang pemahaman faktor risiko gangguan fungsi perkemihan diharapkan menjadi salah satu cara untuk menurunkan angka kejadian penyakit pada lansia.

Baca Juga: Mengenal Kecematan Pada Lansia

Referensi:

Cook, K., & Sobeski, L. M. (2013). Urinary incontinence in the older adult. Journal of Special Population. Retrieved from https://www.accp.com…pdf

Mauk, K. L. (Ed.). (2014). Gerontological nursing: Competencies for care (3rd ed.). Burlington, MA: Jones & Bartlett Learning.

Miller, C. A. (2012). Nursing for wellness in older adults (6th ed.). Philadelphia: Wolters Kluwer, LWW.

Touhy, T. A., & Jett, K. F. (2014). Ebersole and Hess’ Gerontological nursing & healthy aging (4th ed.). St. Louis, Missouri: Elsevier.

Pusat Data dan Informasi Kemenkes RI. (Juli, 2014). Gambaran kesehatan lanjut usia di Indonesia. Jakarta Selatan: Kementerian Kesehatan RI.

Gibson, W., & Wagg, A. (2014). New horizons: Urinary incontinence in older people. Age Ageing, 43(2), 157-163. doi: 10.1093/ageing/aft214

Spencer, M., McManus, K., & Sabourin, J. (2017). Incontinence in older adults: The role of the geriatric multidisciplinary team. BC Medical Journal, 59(2), 99-105. Retrieved from rom http://www.bcmj.org/articles/…role-geriatric-multidisciplinary-team

Healthscope Medical Centres. (June, 2011). Nurse Practitioner: Clinical practice guideline, urinary tract infections in the adult person. Retrieved on March 30th, 2017, from http://www.nursing.health.wa.gov.au/… Adult.pdf

NIH. (February, 2013). nia.nih.gov: Urinary incontinence. Retrieved on March 30th, 2017, from https://www.nia.nih.gov/…/urinary_incontinence.pdf

NHS. (October, 2016). nhs.uk: Urinary incontinence: Causes. Retrieved on March 30th, 2017, from http://www.nhs.uk/…urinary/Pages/Causes.aspx

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *